Petunjuk7.com - Mau tahu tentang take over kredit proyek macet?. Disebutkan meski investasi yang ditawarkan relatif lebih murah, namun tidak semua proyek macet layak untuk diambil alih.
Diperlukan effort lebih agar proyek yang di take over kembali bercitra positif sehingga layak beli oleh konsumen.
Menurut Asriman Akhirudding Tanjung, praktisi dan pengajar properti yang juga penulis buku “Cara Benar Meraih Sukses di Bisnis Developer Properti”, dalam blog-nya asriman.com, mengatakan, banyak penyebab yang membuat developer tidak sanggup lagi meneruskan proyek sehingga proyek menjadi macet, antara lain akibat kurangnya pamahaman mengenai karakteristik bisnis properti.
“Biasanya alasan yang jamak adalah penjualan tidak berjalan bagus, sementara kewajiban developer terhadap pihak ketiga sudah jatuh tempo. Kondisi ini bisa terjadi jika developer menggunakan uang pihak ketiga dalam memulai proyek, seperti pembangunan infrastruktur atau fasilitas umum dan fasilitas sosial,” ujar Asriman.
Kebutuhan awal proyek lanjut Asriman, biasanya adalah untuk land clearing, gate atau jalan perumahan supaya perumahan ‘berbentuk’ dan pembangunan beberapa show unit atau rumah contoh dapat menarik calon konsumen. Disinilah diperlukan pemahaman tentang pentingnya marketing dalam proyek properti karena marketing adalah ujung tombak setiap bisnis, apapun bisnisnya.
Ketidakmampuan menjual, kata Asriman, bisa jadi disebabkan oleh berbagai faktor. Diantaranya adalah tidak memiliki tim pemasaran yang bagus dan tidak memiliki metode-metode kreatif dan inovatif dalam pemasaran produknya.
Sebab lainnya adalah developer memang salah dalam tahap analisa awal proyek, seperti salah dalam analisa harga pembelian dan analisa kompetitor, salah mengerti tentang harga tanah matang dan tanah mentah. Asal tubruk dalam membeli lahan tanpa analisa kelayakan.
“Selain itu tema arsitektur juga sangat menentukan dalam minat beli calon konsumen. Developer harus pintar-pintar menawarkan produk dengan desain yang lagi trend dan sesuai dengan selera di suatu daerah, menyesuaikan model dan tema desain dengan kearifan lokal,” kata Asriman.
Take over proyek properti
Nasib baik jika proyek mangkrak kemudian diambil alih (take over) oleh pengembang baru yang kemudian melanjutkan pembangunan proyek sampai selesai sehingga selamat dari kematian permanen. Menurut Asriman, prinsip utama yang harus dipenuhi dalam take over proyek adalah segala hak dan kewajiban developer lama menjadi hak dan kewajiban developer baru atau developer yang men-take over, termasuk tanggung-jawab pelaksanaan proyek.
Jika ada hutang-hutang developer lama maka akan menjadi kewajiban developer baru untuk menyelesaikan.
“Menyelesaikan dalam artian me-renegosiasi dengan kreditur atau dengan cara-cara lain yang menyebabkan kreditur senang. Atau dengan cara yang lebih elegan adalah hutang-hutang tersebut dilunasi oleh developer baru,” kata Asriman.
Tentu saja setelah take over proyek segala tagihan piutang atau uang masuk proyek juga menjadi haknya developer baru. Proyek pun akan muncul sebagai proyek dengan identitas baru dan pemilik baru.
“Disinilah diperlukan kejelian developer baru melihat peluang proyek ke depan. Selain kemampuan melihat peluang, developer baru juga harus mempersiapkan effort ekstra untuk merubah imej proyek dari status proyek mangkrak menjadi proyek yang on running dan layak beli oleh konsumen,” ujar Asriman.
Cara lainnya yang bisa dipakai adalah take over dalam bentuk akusisi saham perseroan developer lama. Nama perusahaan developer tidak berubah hanya saja struktur organisasinya diisi oleh orang-orang baru sesuai dengan unsur yang termaktub dalam akta perseroan setelah terjadi perubahan susunan pemegang saham.
Cara ini, kata Asriman, cocok untuk proyek-proyek dengan skala besar dan pengakuisisipun adalah developer yang berpengalaman dan “bernama”. Dengan menempelkan embel-embel “Subsidiary of Developer Besar” di marketing tools-nya sudah cukup menarik konsumen dan menjamin proyek sukses.
Cara take over menjadi strategi
Bagi beberapa developer, mengembangkan proyek take over lebih menguntungkan dibandingkan mengembangkan proyek dari nol.
Menurut Chief Executive Officer (CEO) Riscon Group Ari Tri Priyono, keuntungan itu antara lain, tidak perlu ruwet mengurusi perijinan karena sudah dikantongi pengembang lama. Lalu tidak perlu membangun infrastruktur karena sudah ada.
Keuntungan itu yang membuat Ari lebih memilih cara mengambil alih proyek properti macet untuk memperbesar perusahaan yang ia dirikan sejak tahun 2004.
Sampai saat ini, hampir sebagian besar proyek yang sudah selesai maupun sedang dipasarkan Riscon Group adalah hasil take over proyek macet. Tak heran jika Riscon Group disebut sebagai pengembang spesialis take over proyek macet.
Ari menuturkan, kelahiran Riscon Group sebagai pengembang juga karena disebabkan proyek macet. Sebelum menjadi developer, Ari adalah kontraktor. Nah, proyek perumahan yang sedang digarap Ari belakangan macet.
Pengembangnya tidak bisa membayar. Singkat cerita, akhirnya Ari mengambil alih proyek perumahan yang macet itu. Pengalaman itu kemudian menjadi berharga.
Ari jadi tahu bagaimana mengurus proyek properti macet dan belajar menjadi developer. Lulusan Institut Teknologi Surabaya (ITS) jurusan teknik sipil ini pun ”ketagihan” mengambil alih proyek mangkrak. ”Dari pengalaman, ternyata banyak keuntungan bisa didapatkan dengan mengambil alih proyek macet,” ujar Ari.
Walau begitu, Ari tetap selektif memilih proyek macet yang akan diambil alih.
”Kami hanya memilih proyek macet yang lokasinya strategis, legalitas sudah clear, dan harganya murah,” kata Ari seraya mengatakan saat ini semakin banyak proyek macet yang ditawarkan kepada Riscon Group.
Ada beberapa sebab proyek macet. Sebagian besar kata Ari adalah karena miss manajemen, antara lain pengembang memakai uang pinjaman bank untuk keperluan lain, misalnya untuk membuka usaha tambang.
”Kebanyakan terjadi pada pengembang baru atau yang baru ekspansi,” kata Ari. Informasi proyek macet biasanya didapatkan Ari dari berbagai sumber, antara lain perbankan, developer yang macet, kontraktor, dll.
Untuk proyek mangkrak, kata Ari, biasanya memerlukan waktu 6 bulan hingga bisa dipasarkan. Setelah melakukan perbaikan infrastruktur dan mengedukasi masyarakat bahwa proyek macet sudah diambil alih oleh Riscon Group.
”Kalau membangun baru, biasanya persiapannya lebih lama, bisa lebih dari setahun. Apalagi mengurus perijinan yang lama. Jadi, mengambil alih proyek macet lebih menguntungkan,” kata Ari.
Merubah konsep
Strategi yang sama juga dilakukan PT Tridaya Mandiri. Perusahaan dengan core business pertambangan dan perminyakan ini mengakuisisi apartemen East Point senilai Rp110 miliar. “Kita melihat ada peluang untuk menggarap proyek yang hampir jadi tapi macet karena lemah di pemasaran dan cash flow,” ujar Agustianto Batubara, Direktur Utama PT Tridaya Mandiri.
Apartemen East Point awalnya adalah rumah susun sederhana milik (rusunami) bernama Prima 1 yang dikembangkan PT Primaland Development, namun kemudian terhenti pembangunannya.
Apartemen yang berada di Superblok Sentra Timur Pulo Gebang ini merupakan pilot project program 1000 Menara Rusunami yang diusung pemerintah. Pada Februari 2017, PT Tridaya Mandiri mengambil alih dan menyelesaikan pembangunannya.
“Setelah selesai kami bangun, baru kami pasarkan. Ini agar masyarakat percaya,” ujar Agustianto seraya mengatakan dalam waktu dekat pihaknya akan mengakuisisi proyek apartemen kawasan pusat bisnis Jl Jendral Sudirman, Jakarta, dan Bandung, Jawa Barat.
PT Tridaya Mandiri menawarkan apartemen East Point dengan harga Rp12 juta per m2. Harganya mulai Rp400 jutaan, tiga kali lipat lebih mahal dari harga perdana Rp144 juta/unit (2008). Agustianto menyebutkan biaya konstruksi proyek ini sekarang naik berlipat dibanding awal dibangun lebih dari lima tahun lalu. Dulu biayanya konstruksinya sekitar Rp2 juta/m2, sekarang Rp5 jutaan/m2.
Di-rebranding
Pengembang lainnya yang aktif melakukan akuisisi proyek macet adalah PT Mandiri Sejahtera Utama (MSH Group) yang dimiliki mantan Ketua Umum REI dan Menteri Perindustrian era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), MS Hidayat.
Pada tahun 2016 lalu, MSH Group mengakuisisi apartemen dan kondotel The Kencana Residence yang dikembangkan PT Menara Perkasa Margahayuland (MPM) dan sempat terhenti pembangunannya pada awal 2015 di kawasan Pondok Indah, Jakarta Selatan.
Sejak diakuisisi saham sebesar 75% oleh MSH Group, pembangunan The Kencana
Residence pun dilanjutkan dengan terlabih dahulu melakukan perubahan struktur pada beberapa hal, seperti sumber daya manusia, pembiayaan, termasuk kontraktor dan vendor.
Pada akhir April 2016 lalu PT MPM melanjutkan proyek dengan sejumlah strategi baru.
Lalu pada April 2017 lalu, MSH Group mengakuisisi apartemen Selatan 8 yang dikembangkan PT Karya Cipta Group (KCG) di Jalan Ulujami Raya, Jakarta Selatan.
Menyusul akuisisi ini dibentuk perusahaan baru PT Kebayoran Parama Propertindo (KPP). MSH Group menguasai 85% saham, sisanya dipegang pengembang lama.
Di tangan pengembang baru proyek ini di-rebranding dengan nama baru yakni Kebayoran Apartment.
“Kami telah melakukan kajian mendalam terhadap proyek ini, kami lihat lokasinya strategis dan pasarnya cukup besar. Makanya kami setuju untuk mengambilalih proyek ini dan kami kerjakan lagi dari awal karena proyek ini juga belum dimulai konstruksinya,” ujar Susanto Kiswandono selaku Direktur KPP.
Sementara itu, Waskita Karya Realty juga mengakuisisi apartemen Geyeneti di Kebon Jeruk, Jakarta Barat. Apartemen tersebut terdiri dari sembilan menara yang dibangun di lahan 3,3 hektare dengan investasi Rp3,7 triliun.
“Proses akuisisi sudah rampung, tinggal kerjasama kontrak. Mereka sudah bangun dua menara, kami akan lanjutkan sisanya,” kata Tukijo, Direktur Utama PT Waskita Karya Realty.
Lalu PT Adhi Persada Properti (APP) yang mengakuisisi perumahan Mountain Park Residence di jalan Soemanta Diredja, Batu Tulis, Bogor Selatan, Kota Bogor, Jawa Barat seluas 10 hektare.
APP kemudian merubah namanya menjadi Taman Dhika Batu Tulis. Setelah satu tahun di-take over, harga rumah di kawasan tersebut mengalami kenaikan sebesar 50%. Di lokasi pengembangan yang lama telah ada sekitar 100 unit rumah dan telah dihuni. Waktu akuisisi harga rumah tipe 36/72 adalah Rp398 juta, setelah setahun menjadi Rp600 juta.
Lonjakan harga tersebut bukan hanya karena nama besar pengembang APP yang merupakan anak usaha BUMN PT Adhi Karya (Persero) Tbk, tetapi juga adalah karena pengembang melakukan pembenahan infrastruktur selain juga memperbaiki tampilan fasad rumah dan juga tata ruang atau denah layout sehingga tampilan perumahan menjadi lebih berkelas.
Tidak jauh dari Taman Dhika Batu Tulis, Eureka Group melalui PT Nusa Raya Propertindo mengambil alih pengembangan proyek apartemen Green Valley Bogor di kawasan Bogor Nirwana Resort (BNR).
Eureka mengembangkan konsep baru untuk menggarap proyek tersebut sehingga mengganti namanya menjadi Bogorienze.
Proyek Bogorienze dikembangkan dengan mengusung konsep properti hijau, yang sejalan dengan arah perkembangan Kota Bogor yang semakin pesat menjadi kota tujuan wisata dan MICE.
Perubahan konsep membuat Eureka Group optimis proyek Bogorienze
makin diminati oleh pasar.
Lukman Purnomosidi, Direktur Utama PT Nusa Raya Propertindo mengatakan, proyek Bogorienze ditawarkan sebagai properti strata title kepada investor properti ritel.
“Kami memberikan peluang kepada buyer untuk membeli kondotel ini sebagai aset yang bisa mereka nikmati dan juga bisa mereka sewakan. Kami sudah menunjuk manajemen Hotel Salak sebagai operator manajemennya,” kata Lukman. MPI YS.
Sumber:Propertiindonesia.com