RDP Komisi III DPR RI, KPK: OTT 10 %, Sisanya Pengembangan Kasus
Jakarta - Hari ini, Komisi III DPR RI melanjutkan Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Salah satu pertanyaan yang dilontarkan oleh anggota Komisi III adalah soal mekanisme Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang dilakukan lembaga antirasuah tu.
Adapun, yang ditanyakan apakah fungsi penyelidikan dan penyidikan di dalam KPK bisa dilakukan oleh pihak yang sama.
"Apabila penyidik tidak dapat melakukan sendiri, maka kewenangan tersebut sesuai Pasal 17 KUHAP dapat dilakukan oleh penyelidik atas perintah penyidik sebagaimana diatur Pasal 16 ayat 1 KUHAP. Tertangkap tangan dapat dilakukan oleh siapa saja termasuk bukan aparat sepanjang memenuhi syarat-syarat Pasal 1 Angka 19 KUHAP tersebut. Dengan demikian, dalam hal tertangkap tangan yang dilakukan KPK bisa dilakukan penyelidik, penyidik bahkan penuntut umum," ujar Wakil Ketua KPK, Laode Muhammad Syarif di Gedung DPR RI, Jakarta, Selasa (12/9).
Lebih lanjut kata dia, biasanya untuk OTT pihaknya mencari kasus yang paling lengkap alat bukti dan informasinya. Syarif pun menegaskan tidak semua OTT dilakukan dari hasil penyadapan.
Ia juga menyebutkan tidak ada pemilihan kasus untuk dilakukan OTT. Ia mencontohkan dalam operasi tangkap tangan terhadap Dirjen Perhubungan Laut beberapa waktu lalu.
"OTT susah sekali, tapi kalau ada laporan yang lengkap, masa kita tutup mata? Kalau ada informan yang akurat, terjadi dan ada, tidak ada lagi pak pilih-pilih oh karena ini lebih sedikit, ini lebih berat, tidak ada. Kalau akurat informasinya, ada keteranganya, itu kita lakukan. Beda dengan kita mengembangkan kasus. Dan saya pikir kasus di KPK kan OTT paling 10 persen, yang paling banyak pengembangan. Cuma sensasi media selalu lebih wah," tambahnya.
Di sisi lain, Syarif juga menegaskan pihaknya juga selalu melakukan pencegahan. Ia menyampaikan bahwa sebaik apapun pencegahan yang dilakukan KPK namun tidak pernah menjadi bahan peliputan media.
"Seakan-akan kami divonis tidak pernah melakukan pencegahan. Padahal secantik apapun pencegahan yang dilakukan termasuk kami melakukan beberapa saya pikir itu sumber keuangan negara triliunan dari sisi pencegahan tapi tidak pernah ditulis dengan cukup. Oleh karena itu di forum ini kami sampaikan," pungkasnya.
Laode menjawab demikian untuk menjawab pertanyaan beberapa anggota Komisi III DPR yang mempertanyakan proses laporan masyarakat yang masuk ke KPK melalui Direktorat Pengaduan Masyarakat (Dumas) untuk kemudian menjadi sebuah kasus.
Sebab hal itu juga dipertegas kembali oleh Wakil Ketua Komisi III DPR Benny Kabur Harman selaku pimpinan RDP. Pihaknya ingin pimpinan KPK memberikan penjelasan kepada mengenai tahapan dan pola penanganan kasus di KPK mulai laporan masyarakat sampai langkah hukum hingga di pengadilan. Hal itu penting untuk dijawab karena adanya tuduhan tebang pilih dalam penanganan kasus, hanya di daerah tertentu saja.
"Padahal 7.000 laporan ke KPK, tapi hanya sekian yang diproses. Siapa yang memutuskan kasus ini ditolak atau diteruskan? Sehingga saya katakan kerja KPK ini bukan kerja hukum, tapi jadinya kerja politik. Bukan lagi rasional decision tetapi sudah policital decision," papar Benny.
Hal itu juga dipertanyakan oleh Ketua Komisi III DPR Bambang Soesatyo terkait banyaknya laporan masyarakat ke Komisi III soal tebang pilih penanganan kasus korupsi oleh KPK. Ia katakan ada laporan yang masuk ke Komisi III bahwa sudah ada laporan berkali-kali ke KPK dengan data yang lengkap tetapi tidak pernah di proses.
"Ada beberapa Bupati yang dilaporkan masyarakat. Katakanlah, Cianjur. Saya tidak sebut kota atau kabupaten. Sudah berkali-kali lapor ke KPK. Tapi aman-aman saja. Sementara kabupaten lain cepat kali ditangkap," ujar Bambang.
Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan mengungkap dari sekitar 3.000 laporan masyarakat ke KPK, memang setelah disaring oleh Direktorat Dumas, tidak semua memenuhi kategori tindak pidana korupsi. Oleh karena itu, kasus-kasus tersebut tidak ditindaklanjuti menjadi pengumpulan bahan dan keterangan (Pulbaket) untuk nantinya menjadi penyelidikan.
Selain itu, Basaria mengungkap, jika pun laporan tersebut masuk tipikor, KPK akan memilah milah apakah sesuai dengan kewenangan KPK dalam UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK apakah masuk penyelengara negara. Jika tidak sesuai, kata Basaria, hal itu akan diteruskan ke aparat penegak hukum lain yakni kepolisian maupun kejaksaan apakah kasus tersebut sudah ditangani dan sejauh mana perkembangan kasusnya.
"Kalau tim menganggap, mengumpulkan bahan keterangan dilakukan terbuka bisa juga biasanya yang namanya jelas konfirmasi. Kemudian pengumpulan data tersebut naik ke penyelidikan. Bisa dilakukan dengan penyelidikan terbuka mengundang pihak tertentu. Bisa dilakukan penyelidikan tertutup sesuai kewenangan KPK antara lain bisa dengan penyadapan. " pungkasnya. (Mediaindonesia.com)