"Membakar Uang" di Kereta Bandara Soekarno-Hatta
Petunjuk7.com - Suasana di dalam Stasiun BNI City pada Selasa Siang (18/9) nampak sepi. Kondisinya kontras dengan lalu lalang kendaraan di Jalan Sudirman, Jakarta yang sangat ramai dan bising.
Di lantai dua Stasiun BNI City—tempat membeli tiket—tak ada antrean yang berarti. Selain penumpang, nampak karyawan Railink, cleaning service, dan petugas keamanan.
Kondisi ini berkesesuaian dengan keberadaan toko-toko yang bisa dihitung dengan jari. Hanya ada enam toko yang buka. Sisanya, banyak yang tutup, dan masih ada juga lapak-lapak yang belum laku diisi para tenant di Stasiun BNI City. Stasiun yang punya nama lain
Stasiun Sudirman Baru adalah titik pangkal bagi mereka yang berada di tengah kota bila ingin ke Bandara Soekarno Hatta, dengan fasilitas kereta api (KA) yang beroperasi belum setahun.
Kehadiran KA Bandara Soekarno-Hatta bukan yang menjadi pertama kalinya ada di Indonesia. Sebelumnya, kereta bandara sudah hadir lebih dulu di luar Jawa, yakni Bandara Kualanamu Medan.
KA Bandara Soekarno-Hatta dicetuskan saat masa kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Rencana itu tertuang di dalam Perpres no. 83/2011 tentang penugasan kepada PT KAI untuk menyelenggarakan prasarana dan sarana KA Bandara Soekarno-Hatta dan Jalur Lingkar Jabodetabek.
Pada masa SBY, pemerintah kala itu menargetkan pembangunan jalur kereta menuju Bandara Soekarno-Hatta itu beroperasi awal 2014.
Namun dalam perkembangannya, rencana ini tak terealisasi, terkendala pembebasan lahan hingga pendanaan. Setelah itu, nasib pengembangan KA Bandara Soekarno-Hatta berada di rezim pemerintahan yang baru.
Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi, dan Dirut PT KAI Edi Sukmoro kala itu menargetkan kereta beroperasi akhir November 2017.
Namun, lagi-lagi target itu kembali meleset. Kereta bandara yang ditunggu-tunggu baru bisa beroperasi perdana pada 26 Desember 2017. Pada pekan pertama kereta bandara beroperasi, tarif dipatok sebesar Rp30.000, dan kembali menjadi Rp70 ribu pada 2 Januari 2018.
Saat mulai beroperasi, operator kereta bandara, PT Railink langsung mendapat beban berat. Pemerintah berharap kereta bandara ini mampu mengurai kemacetan di Jakarta, terutama saat menuju Bandara Soekarno-Hatta.
“Akhirnya setelah tiga tahun, kereta bandara diresmikan. Kereta bandara ini merupakan salah satu penyedia moda transportasi di Jakarta untuk mengurangi kemacetan,” kata Jokowi pada 2 Januari 2018.
Sayang, kemacetan menuju Bandara Soekarno-Hatta masih kerap terjadi. Pada 13 September 2018, Ditlantas Polda Metro Jaya dan Jasa Marga terpaksa merekayasa lalu lintas yang menuju Bandara Soekarno-Hatta.
Menurut Ditlantas, kemacetan itu terjadi lantaran pengguna jalan tidak disiplin saat menuju Tangerang, sehingga akses Rawa Bokor (Jakarta Barat) ke Tangerang terpaksa ditutup guna mengurai kemacetan ke Bandara Soekarno-Hatta.
Alih-alih mengurangi kemacetan, dalam 8 bulan terakhir ini, PT Railink—operator kereta bandara—justru terancam mengalami kerugian dari kegiatan operasional KA Bandara Soekarno-Hatta karena tingkat okupansi yang masih rendah.
Kondisi itu terlihat dari catatan tingkat okupansi KA Bandara Soekarno-Hatta yang baru sebesar 30-35 persen atau sekitar 2.600-2.700 orang per hari.
Rendahnya okupansi membuat target perjalanan KA Bandara Soekarno-Hatta harus direvisi dari 124 perjalanan per hari menjadi 72 perjalanan per hari. Capaian okupansi 8 bulan ini juga jauh dari target awal okupansi oleh Railink sebesar 70-80 persen.
"Banyak faktor yang membuat okupansi rendah. Mulai dari akses yang agak ke dalam, lokasi stasiun yang kena kebijakan ganjil genap, hingga kebiasaan masyarakat,” kata Humas PT Railink Diah Suryandari kepada Tirto.
Dengan kondisi okupansi saat ini, tidak menutup kemungkinan Railink baru mendapatkan laba dari KA Bandara Soekarno-Hatta pada tahun-tahun berikutnya. Pasalnya, operator KA Bandara Kualanamu saja butuh 4 tahun untuk meraup laba.
Sejak dioperasikan mulai 2013, KA Bandara Kualanamu tidak lantas langsung mencatat laba. Okupansi yang rendah membuat rugi operator Railink. Alhasil, Railink pun mencatat rugi selama tiga tahun berturut-turut.
Keadaan mulai berbalik pada 2017 seiring dengan okupansi yang meningkat. Kala itu, rata-rata okupansi kereta KA Bandara Kualanamu menembus 40-45 persen. Railink pun akhirnya meraup laba Rp1,89 miliar pada tahun lalu dari sebelumnya rugi Rp27,57 miliar.
Namun, bila melihat laporan tahunan PT KAI, laba bersih Railink dari KA Bandara Kualanamu bukan dikarenakan okupansi yang meningkat. Railink bisa mencetak laba bersih karena tertolong dari pendapatan non-penumpang.
Pada 2017, pendapatan Railink dari KA Bandara Kualanamu tercatat Rp84,9 miliar, naik 11 persen dari pendapatan 2016. Angka tersebut bersumber dari pendapatan penumpang sebesar Rp67,2 miliar, dan pendapatan non-penumpang sebesar Rp17,7 miliar.
“Saya pikir tidak akan seperti Kualanamu yang baru laba di tahun ke-4. KA Bandara Soekarno-Hatta bisa lebih cepat karena potensi penumpang Bandara Soekarno-Hatta lebih besar ketimbang Kualanamu,” kata Ketua Forum Transportasi Perkeretaapian MTI Aditya Dwi Laksana kepada Tirto.
Potensi KA Bandara
Kereta bandara memang diperuntukkan bagi pengguna maskapai penerbangan. Pasar yang dibidik sama dengan apa yang disasar dunia penerbangan.
Volume penumpang Bandara Kualanamu tercatat 8-9 juta orang, tapi bukan berarti potensi pengguna KA Kualanamu sebesar itu, karena tak semua penumpang menggunakan jasa KA.
Bagaimana dengan potensi volume penumpang KA Bandara Soekarno-Hatta? Total penumpang angkutan udara di Bandara Soekarno-Hatta per tahun bisa mencapai 63 juta orang. Namun, lagi-lagi potensinya bisa di bawah itu, karena masih ada akses tol dan jalan non tol untuk akses ke Bandara Soekarno-Hatta.
Selama ini, masyarakat Jakarta dan sekitarnya sudah terbiasa memakai moda transportasi seperti taksi konvensional, taksi online, bus hingga mobil pribadi. Dengan kata lain, tidak mudah untuk menggaet penumpang beralih menggunakan kereta bandara.
Berbeda dengan kereta bandara di Medan yang hadir bersamaan dengan berdirinya Bandara Kualanamu, sehingga persaingan antar moda juga lebih longgar. Pada 2017, KA Bandara Kualanamu tercatat telah mengangkut 861.650 orang pada 2017.
Selain persaingan dengan moda angkutan lainnya, konektivitas kereta bandara dengan kereta lainnya juga belum bagus, sehingga menjadi halangan bagi penumpang untuk memilih kereta bandara, baik yang pulang maupun yang akan berangkat ke bandara.
Namun, beroperasinya Tol Medan-Kualanamu-Tebing Tinggi yang menghubungkan Medan dan Bandara Kualanamu jadi tantangan bagi operator kereta bandara.
Keterbatasan kereta bandara juga terlihat dari aksesnya. Lokasi Stasiun BNI City memang berada di pusat kota, tapi agak repot untuk mengaksesnya.
Jika penumpang datang dari arah Jalan Sudirman, maka perlu memutari Bunderan HI sebelum masuk ke stasiun. Persoalan tarif juga menjadi tantangan di tengah layanan taksi online yang makin pesat.
Belum lagi, aksesnya juga rentan kena kebijakan lalu lintas DKI Jakarta, mulai dari kebijakan ganjil genap dan car free day. Kalau sudah begitu, maka untuk mengaksesnya menjadi lebih repot lagi.
“Saya perkirakan tahun ini KA Bandara Soetta masih merah [rugi]. Tahun depan, mungkin bisa merah muda asalkan keterbatasan kereta bandara itu segera dikurangi. Kalau tidak, yah labanya lebih lama lagi,” jelas Aditya.
Sulit memang untuk memperkirakan besaran rugi yang akan dibukukan Railink apabila okupansi KA Bandara Soekarno-Hatta hanya 30-35 persen. Namun, jika memperkirakan nilai potensi pendapatan yang hilang masih memungkinkan.
Target rata-rata okupansi KA Bandara Soekarno-Hatta dipatok 80 persen sepanjang 2018 ini. Dengan asumsi rata-rata okupansi 35 persen sama dengan 2.700 orang per hari, maka okupansi 80 persen sama dengan 6.171 orang per hari.
Dari 6.171 orang per hari itu dan tarif Rp70.000 per orang, maka pendapatan penumpang dari KA Bandara Soekarno-Hatta sepanjang 2018 harusnya mencapai Rp158 miliar.
Namun, apabila rata-rata okupansi kereta hanya 35 persen atau 2.700 orang per hari sampai dengan akhir tahun, maka total pendapatan penumpang dari KA Bandara Soekarno-Hatta hanya sekitar Rp69 miliar.
Artinya, nilai potensi pendapatan penumpang yang hilang dari KA Bandara Soekarno-Hatta bisa sebesar Rp89 miliar.
Ini belum menghitung biaya operasional yang harus dikeluarkan Railink sebagai anak usaha PT KAI. Ujung-ujungnya pilihan "membakar uang" sementara waktu harus ditempuh oleh PT KAI.
Sumber:Tirto.id