Human Rights Watch: Kekerasan Seksual untuk Menakut-nakuti Etnis Rohingya
Amerika Serikat - Menlu AS Rex Tillerson menyerukan penyelidikan independen mengenai laporan-laporan bahwa pasukan keamanan Myanmar melakukan tindakan-tindakan keji terhadap Muslim Rohingya.
Dalam kunjungan pertamanya ke Myanmar, Tillerson bertemu dengan Panglima Jenderal Myanmar dan melangsungkan konferensi pers bersama dengan penasehat negara Aung San Suu Kyi.
Kunjungan itu berlangsung sebelum Human Rights Watch mengeluarkan laporan yang menuding pasukan keamanan Myanmar memerkosa banyak perempuan Rohingya sebagai bagian dari usaha pembersihan kelompok etnis minoritas itu di negara bagian Rakhine.
Dalam laporan setebal 37 halaman itu, Human Rights Watch mengatakan, mereka menemukan bukti bahwa pasukan keamanan Myanmar menggunakan kekerasan seksual sebagai cara menakut-nakuti perempuan-perempuan Rohingya dan komunitas-komunitas kelompok etnis minoritas tersebut.
"Sebagian besar perempuan yang saya wawancara mengatakan mereka diperkosa beramai-ramai, terkadang oleh 9 atau 10 orang. Pada semua kasus yang saya catat, banyak tentara yang terlibat,” kata Skye Wheeler, periset di Organisasi HAM yang berbasis di New York.
Video yang direkam Human Rights Watch menampilkan sejumlah perempuan yang menceritakan pengalaman mereka.
"Saya punya adik perempuan. Kami berusaha melarikan diri namun sejumlah tentara menangkap kami. Mereka membawa kami ke belakang rumah kami dan memerkosa kami. Saya merasa seperti mati. Kemudian saya tidak sadarkan diri,” kata salah seorang korban.
Laporan itu keluar setelah Menlu AS Rex Tillerson berkunjung ke Myanmar untuk pertama klinya. Sementara ia tidak menggunakan istilah pembersihan etnis, Tillerson mengungkapkan keprihatinan serius Amerika mengenai pelanggaran HAM serius terhadap kelompok-kelompok etnis minoritas.
"Amerika Serikat menyambut komitmen pemerintah Myanmar untuk mengizinkan para pengungsi pulang secara sukarela dan menerapkan rekomendasi-rekomendasi komisi penasehat negara bagian Rakhine untuk menciptakan perdamaian yang bertahan lama dengan cara menyokong pembangunan ekonomi dan menghormati hak-hak semua orang di negara bagian Rakhine, termasuk mereka yang terpaksa mengungsi.”
Pemimpin sipil Myanmar, Aung San Suu Kyi, membantah kecaman bahwa ia memilih bersikap diam sewaktu penderitaan buruk dialami warga Rohingya.
"Kita tidak boleh lupa ada banyak komunitas berbeda di Rakhine. Jika ingin mereka hidup bersama secara damai dan harmonis dalam jangka panjang, kita tidak boleh mengadu domba mereka. Kita tidak dapat membuat pernyataan yang membuat mereka semakin bermusuhan. Inilah alasan mengapa kita perlu sangat berhati-hati mengenai apa yang dikatakan.”
Tillerson mengatakan, ia berpendapat, sanksi ekonomi terhadap negara itu secara keseluruhan bukanlah gagasan yang baik, namun ia akan mengevaluasi legislasi yang saat ini sedang dipertimbangkan Kongres AS. Jika legislasi itu disetujui, AS akan mengakhiri latihan militer gabungan dengan Myanmar dan memberlakukan kembali larangan perdagangan permata, larangan yang dicabut tahun lalu oleh Barack Obama sewaktu menjabat presiden.
Sumber:Voaindonesia.com