Jakarta - Lanjutan uji materiil Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran (UU Praktik Kedokteran) dan UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Pendidikan Dokter (UU Pendidikan Dokter) kembali digelar Mahkamah Konstitusi (MK), Rabu (2/8).
Agenda sidang perkara Nomor 10/PUU-XV/2017 tersebut adalah mendengar keterangan ahli dan saksi yang dihadirkan Pemerintah.
Pakar Hukum Tata Negara Refly Harun menyinggung tentang eksistensi Ikatan Dokter Indonesia (IDI) selaku organisasi profesi.
Menurutnya, IDI telah melakukan monopoli dalam bidang hulu hingga hilir, yakni sebagai pembuat dan pelaksana regulasi bidang kedokteran.
“Dalam perspektif kenegaraan, hanya lembaga negara yang punya kewenangan monopoli. Itupun tetap memerlukan proses checks and balances,” jelasnya dalam sidang yang dipimpin Ketua MK Arief Hidayat yang dikutip dari situs www.mahkamahkonstitusi.go.id.
Kemudian Refly menegaskan, IDI bukanlah state organization sehingga tidak bisa melakukan monopoli. Apalagi, menurutnya, IDI adalah organisasi yang lahir dari masyarakat sehingga perannya mesti diawasi dan tak boleh memakai logika state organization.
“Selain itu, saya memandang IDI seharusnya bukan jadi wadah tunggal organisasi kedokteran. Rujukannya pada Pasal 1 angka 20 UU Pendidikan Kedokteran.
Pasal tersebut menyebut organisasi profesi, tidak disebut spesifik adalah IDI. Artinya memungkinkan untuk lahir organisasi profesi di luar IDI,” paparnya sebagai ahli yang dihadirkan Pemerintah.
Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Herkutanto menilai sistem asosiasi profesi kedokteran di Indonesia perlu dikaji ulang.
Sebab, selama 10 tahun terakhir, sudah ada lima judicial review terkait UU Praktik Kedokteran. “Artinya, perlu ada penelaahan lebih lanjut terkait sistem dan pemain yang sudah ada,” jelasnya.
Di negara lain, jelasnya, hubungan kolegium dengan asosiasi cenderung berjalan saling melengkapi.
Berbeda dengan Indonesia yang keduanya cenderung tumpang tindih sehingga tidak berjalan efektif.
Selain itu, menurutnya, kolegium sejak jaman Belanda tidak dikenal di Indonesia. Sebab, kolegium baru berdiri pada 1967, setelah IDI berdiri pada tahun 1950. “Ada pemahaman ahistoris terkait fungsi kolegium,” tegasnya.
Adapun Akmal Taher selaku saksi yang dihadirkan Pemerintah menjelaskan tentang keberjalanan IDI dalam proses Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Dokter Layanan Primer (DLP).
Ketua Pokja RPP DLP itu membenarkan jika pada awalnya IDI setuju dengan program DLP. Namun, dalam keberjalanannya, lembaga kedokteran tersebut justru berubah sikap.
“Awalnya, muktamar IDI menolak membahas tentang DLP. Setelah itu, sebulan kemudian keluar putusan MK bahwa DLP tak bertentangan dengan Konstitusi,” jelasnya.
Setelah momen tersebut, lanjutnya, IDI lalu menarik diri dari pembahasan RPP DLP. Mereka juga memboikot sosialisasi DLP yang dilakukan Kemenkes.
Menurutnya, ada surat yang mengamanatkan Kolegium Kedokteran Indonesia agar tidak hadir dalam agenda tersebut.
“Di sisi lain, pemerintah tetap memerlukan IDI untuk mengesahkan RPP DLP karena tetap dibutuhkan persetujuan IDI. Tapi mereka justru bersikap menarik diri,” katanya.
Pemohon adalah tiga orang dokter, yakni Judilherry Justam, Nurdadi Saleh, dan Pradana Soewondo. Para Pemohon menguji ketentuan Pasal 1 angka 4, angka 12, angka 13, serta Pasal 14 ayat (1) huruf a, Pasal 29 ayat (3) huruf d, dan Pasal 38 ayat (1) huruf c UU Praktik Kedokteran. Pemohon juga menguji ketentuan Pasal 24 ayat (1), Pasal 36 ayat (3), dan Pasal 39 ayat (2) UU Pendidikan Dokter.
Menurut para Pemohon, kewenangan IDI dalam penerbitan sertifikat kompetensi dan rekomendasi izin praktik dokter menjadikan IDI super body dan super power.
Hal tersebut dinilai dapat menciptakan perilaku sewenang-wenang tanpa memerdulikan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Selain itu, Pemohon memandang tak perlu ada sertifikat kompetensi dari Kolegium Dokter Indonesia yang dibentuk IDI.
Sebab, setiap lulusan Fakultas Kedokteran yang telah melalui uji kompetensi sesuai Pasal 36 ayat (3) UU Pendidikan Kedokteran akan mendapat sertifikat profesi berupa ijazah dokter. (mk)