Datuk Sotih, Darnius: Foto:Endri.L/Hap
Kampar- Investigasi petunjuk7.com melakukan penelusuran atas konflik lahan antara Lembaga Adat Kenegrian Padang Sawah, Kecamatan Kampar Kiri, Kabupaten Kampar, dengan PT. Perawang Sukses Perkasa Industri (PT.PSPI).
Konflik yang telah berlangsung lama ini menjadi cacatan sejarah atas perjuangan masyarakat melalui Lembaga Adat Kenegrian Padang Sawah . Tidak heran menembus areal lahan yang diklaim masyarakat, namun PT.PSPI tidak mengakui karena memiliki izin, yang jarak tempuhnya mencapai 30 Kilometer dari Desa Padang Sawah, menyeberang sungai Subayang, yang aksesnya menggunakan jembatan rakit dari perahu kayu.
LAHAN: Sebelum PT.PSPI memiliki HPHTI tahun 1998 silam, masyarakat menyebut sudah memiliki surat tanah.Foto:Endri/Hap
Apalagi, jarak tempuh dari Kota Pekanbaru ke Kecamatan Kampar Kiri menuju Desa Padang Sawah membutuhkan waktu sekitar tiga jam atau sekitar 75 Kilometer. Nah, usai menyebrang sungai Subayang melalui rakit tadi, kondisi jalan masih tanah. Tampak areal kebun karet dan kebun sawit tumbuh disana dan tanaman milik PT.PSPI. Sedangkan konflik terus berlanjut...
“Kami tidak mengganggu pihak perusahaan. Tetapi kembalikan lahan masyarakat yang dirampas pihak perusahaan, “ tegas Datuk Sotih, Darnius kepada www.petunjuk7.com pekan silam.
Ketua Lembaga Adat Kampar di Kenegrian Padang Sawah mengungkapkan, bahwa pihak PT.PSPI pada tahun 1998 silam mendapat izin dari Kementrian Kehutanan memberikan Hak Penguasahaan Hutan Tanam Industri (HPHTI) seluas kurang lebih 50.725(lima puluh ribu tujuh ratrus dua puluh lima) sesuai surat keputusan Menteri Kehutanan No.249/KPTS-II/1998 tertanggal 27 Februari tahun 1998.
“Sebagaian areal berada di Desa Padang Sawah, “ tutur Darnius.
Surat tanah milik masyarakat, sebelum ada izin HPHTI milik PT.PSPI.Foto:Endri.L/Hap)
Darnius menjelaskan keputusan Menteri Kehutanan No.249/KPTS-II/1998 tertanggal 27 Februari tahun 1998 silam pada yang berisi dan tertulis pada point ke empat (4) soal HPHTI terdapat lahan milik perkampungan, tegalan, persawahan atau diduduki oleh masyarakat .
“Merujuk surat keputusan Menteri Kehutanan No.249/KPTS-II/1998 kalau ada lahan masyarakat harus dikeluarkan dari areal HPHTI PT.PSPI,” ujarnya.
Memang kata Darnius adak kesepatakan bersama antara Kepala Desa dan PT. PSPI tahun 2001 tentang pancung alas senilai Rp121.188.000 (seratus dua puluh satu juta seratus delapan puluh ribu rupiah).
PETANI KARET: Didalam HPHTI PT.PSPI lahan yang dikelola masyarakat selama jaman nenek moyang Kenegrian Padang Sawah di klaim bukan milik masyarakat.Foto:Endri.L/Hap
“Kami minta lahan kami dikembalikan, “ tuntutnya.
Karena terang Darnius sebelum PT.PSPI memiliki areal HPHTI, masyarakat sudah memiliki surat tanah.
“ Dari nenek moyang sudah ada tanah itu kami kelola. Memang karet dan sawitlah masyarakat dapat hidup, “ cetusnya.
Tidak sampai disitu saja dijelaskan Darnius, karena tidak ada tanggapan serius dari pihak PT.PSPI, tambah Darnius oleh masyarakat dilakukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi pada tahun 2012 silam, No:35/PUU-X/2012.
“Pemerintah menetapkan status hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dan hutan adat ditetapkan sepanjang menurut kenyataannya masyarakat hukum adat yang bersangkutan masih ada dan diakui keberadaannya. Itu tahun 2012, Undang –undang sudah berubah kenapa sejak amar putusan ada tidak tunduk?, “ Tanya Darnius.
“Toh ada pergantian Undang – undang Kehutanan. Inikan amar putusan harus diikuiti. Kok sekarang jadi berlarut-larut, “ tegasnya.
Anehnya tambah Darnius, malah pihak masyarakat digugat oleh Dinas Kehutanan Kampar di blok III (tiga) pada tahun 2016 silam. “Gugatannya ditolak Pengadilan Kampar, terkait masuk izin HPHTI PT.PSPI. Karena didalam HPHTI PT.PSPI ada tanah masyarakat yang memiliki alas hak sesuai surat. Ya harus dikembalikan tanah masyarakat, “ kesalnya.
Meskipun begitu, terang Darnius didalam areal izin areal kerja Industri Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Pada Tanaman Industri Dalam Hutan Tanaman (IUPHHK-HTI milik PT.PSPI) di blok III tidak melibatkan masyarakat pada tahun 2015 silam karena melakukan pengukuran ulang bersama instansi terkait.
“Gugatan ditolak Pengadilan Negeri Kampar, tetapi bersikeras mengukur ulang. Dan masyarakat tidak menandatangani. Tujuan meraka agar izin HPHTI kembali dikeluarkan oleh Dirjen Planologi Kehutanan atas nama Menteri Kehutanan merubah HPHTI tahun 1998 silam Dan petanya sudah terbit tanggal enam Desember 2016,” bebernya.
“Kami sudah melayangkan surat ke instansi terkait atas terbitnya peta IUPHHK-HTI milik PT.PSPI yang terbit tahun 2016, “ ungkapnya.
Surat Panggilan Polisi Kehutanan
Ketua Lembaga Adat Kampar di Kenegrian Padang Sawah bergelar Datuh Sotih, Darnius kini berurusan dengan Polisi Kehutanan Propinsi Riau. Darnius dituduh melakukan mengelola lahan diatas izin peta IUPHHK-HTI milik PT.PSPI .
“Saya sudah dua kali dipanggil. Tidak dipanggil saya datang. Dan waktu saya diperiksa petugas Polisi Kehutanan, saya dipanggil Kepala Dinas Kehutanan Propinsi Riau. Saya jelaskan semua permasalahannya. “ Terang Darnius.
Apapun alasan pihak PT.PSPI sebut Darnius, ia tidak gentar.. “Ini hak ulayat yang dikelola masyarakat Padang Sawah. “Tahun 2002 Ninik Mamak Desa Domo, Desa Padang Sawah dengan tegas luas dan batas – batas tanah ulayat Datuk Dubalang Tagan, Datuk Majan Kayo Desa Domo bersama Datuk Sotih dan Datuk Paduko Siajo Padang Sawah. Karena sejak tahun 1998 HPHTI milik PT.PSPI mengukur batas – batas pernah terjadi bentrok. Emosi warga Padang Sawah saat ini saya redam. Karena ini sudah lama,” tandasnya. (Endri.L/Hap)