Demi pena! Dan, tentang apa yang mereka tuliskan (QS: Al Qalam: 1)
DI POROS Ibu Kota tengah bergesekan dua kutub kekuatan: "panatisme agama" Vs nasionalis sloganis.
Satu kubu, menafsirkan jihad dengan pressure. Di kubu lain, tengah menakar nasionalisme lewat simbol garuda & karangan bunga. Sebagai masyarakat awam, di mana posisi kita?
Kita, tampaknya, terjepit kebingungan kehilangan pegangan, tanpa panutan. Paham demokrasi yang kita anut dari "Barat"---sejak bangsa ini berdiri---sudah tak kuat mengikat nasionalisme itu, manakala kita menerjemahkannya untuk kebersamaan: penegakan hukum apalagi harapan keadilan dalam kesetaraan ekonomi.
Padahal, sejak lama oleh para pemimpin, rakyat pun selalu dibuai janji-janji muluk bahwa demokrasi akan melahirkan hidup layak di sesama. Malah, itu yang terus didoktrinkan kepada kita.
Bahwa lebih 200 juta jiwa penduduk bangsa ini menganut Islam dan memercayai ajaran Islam merupakan aturan paripurna merupakan realita tak terbantah.
Bahwa sesungguhnya, tak satu dalilpun dalam ajaran Islam melegitimasi tindakan demonstrasi sebagai sarana aspirasi juga layak direnungkan. Islam mengajarkan cara-cara yang santun ketika harus protes pada kekuasaan.
Toh, dalam situasi emergency kalangan pesakitan berupaya menemukan pijakan pembenaran atas tindakan. Para ahli tafsir tentu sudah punya dalih shahih untuk pergerakan. Dugaan penistaan agama memantik api amarah.
Lantas, sebagian kita mungkin tidak memihaki kalangan demonstran yang mengatasnamakan agama. Perisai nasionalisme kemudian mengemuka.
Tetapi, apakah mungkin lahir nasionalis sejati pada situasi penegakan supremasi hukum.yang buruk? Hehehe...
Yang teramati, dalam skala prematur nasionalisme justru muncul simbolik. Karangan bunga dan simbol.garuda di medsos mungkin, wujud paling sederhana.
Sebagian kecil kalangan mengklaim nasionalisme sebagai pandangan hidup karena tak siap dengan perintah menjalankan agama yang dianutnya. (Saya salah seorang contohnya, hehehe).
Dari titik ini, pro-kontra meluas ke mana-mana. Dari area parkiran hingga ke elite pendidik. Dari penjaga wc umum hingga guru besar. Masing-masing membicarakan pendapatnya. Tetapi bukankah perbedaan itu indah?
Kekuasaan kemudian gamang. Rasa kekecewaan rakyat yang meluber dari pengabaian buah demokrasi itu harus segera dibendung lewat metode instan.
Kriminalisasi ulama, teror terhadap penyidik dan ancaman pembubaran ormas agama yang dituding radikal. Regulasi terhadap pers, hingga pembubaran paksa dakwah serta segala bentuk tindakan kontra demokrasi...
Just, sebagai jurnalis apa yang urgen kita lakukan? Kesatu, jangan fokuskan pena dan kamera ke Jakarta. Biarlah kedua "kekuatan" itu berkreasi di bawah naungan langit Jakarta yang "terbelah-dua".
Kedua, doakan para pemimpin kita agar ditunjuki Tuhan memperbaiki negeri ini demi keutuhan bangsa. Doakan para ulama dan ummat Islam yang berjuang demi mendorong tegaknya hukum di negara tercinta.
Ketiga, aktualita politik regional mulai menghangat. Riau bakal memasuki era mencari pemimpin di periodisasi gubernur berikutnya. Urusan ini tak kalah penting.
Ingat sejarah masa silam. Gubernur Riau yang berkantor di penjara sudah pada tahap hattrix. Ini bukti Riau dalam seperlima abad terakhir absah menganut pemeo: Power Tends to Corrupt.
Angkat pena, menulislah dengan jujur dan perkasa! Menulislah yang mendamaikan. Setiap kata yang ditulis pertanggung jawabannya vertikal kepada Tuhan:
"Demi pena & tentang apa yang mereka goreskan..." ***
Penulis: Drs Elwahyudi Panggabean, MH.
-Direktur Pekanbaru Journalist Center.
-Direktur Riau Media Watch.
-Dosen FKIP Universitas Islam Riau.
-Mantan Wartawan Forum Keadilan dan lain - lain.
-Penulis Buku.
-Penulis aktif di media massa cetak, dan elektronik portal berita maupun blog, facebook, tweter dan lain - lain.