Petunjuk7.com - Dalam upaya menegakkan prinsip transparansi pada sektor industri ekstraktif baik migas dan minerba di tingkat nasional dan daerah.
Untuk itu, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian mengadakan kegiatan Diskusi Kelompok Terfokus (FGD) di Hotel Aston Batam, Provinsi Kepulauan Riau, Senin (9/4/2018). Kegiatan ini juga diikuti langsung oleh Sekretaris Daerah (Sekda) Provinsi Riau, Ahmad Hijazi.
Dalam forum ini, nantinya akan dibahas tentang penyaluran Dana Bagi Hasil (DBH) sektor industri ekstraktif. DBH adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dibagihasilkan kepada daerah berdasarkan angka persentase tertentu.
Pembahasan isu DBH sangat terkait dengan prinsip transparansi yang selama ini digaungkan oleh Extractive Industries Transparency Initiative (EITI) sebagai standar global transparansi industri ekstraktif yang saat ini telah dilaksanakan di 51 negara, termasuk Indonesia.
ElTl terus mendorong agar penyaluran dan pemanfaatan DBH dapat dilakukan secara transparan agar dapat meningkatkan pembangunan daerah, khususnya pada daerah-daerah kaya sumber daya alam yang selama ini belum dapat secara maksimal memanfaatkan kekayaan alam bagi kesejahteraan masyarakat.
"Bagi banyak daerah, penerimaan dari DBH migas dan minerba merupakan kontributor terbesar pendapatan asli daerah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Karena itu, sejalan dengan prinsip transparansi dan akuntabilitas yang dianut EITI, kami sangat memprioritaskan agar isu DBH dan beberapa isu Iainnya dapat ditindaklanjuti pembahasannya," kata Deputi Bidang Koordinasi Pengelolaan Energi, Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup, Kemenko Bidang Perekonomian, Montty Girianna.
Montty menguraikan, penyaluran DBH pada dasarnya bertujuan untuk menyeimbangkan antara pembangunan nasional dengan pembangunan daerah, sekaligus untuk mengurangi ketimpangan antara daerah penghasil dan daerah bukan penghasil sumber daya alam.
Walaupun daerah penghasil memperoleh porsi yang lebih besar dibandingkan dengan daerah-daerah bukan penghasil, namun banyak daerah penghasil yang masih tidak puas dengan pembagian DBH.
Beberapa isu yang selalu menjadi pertanyaan banyak pihak antara lain mengenai mekanisme dan besaran alokasi DBH bagi masing-masing daerah, proses penyaluran, dan isu mengenai kurang bayar dan lebih bayar.
Walaupun regulasi terkait DBH sudah diatur dalam Undang-Undang dan peraturan-peraturan turunannya, beberapa pihak masih menganggap pembagian DBH dari sumber daya alam memiliki kelemahan, salah satunya karena pengaruh fluktuasi harga minyak dunia dan harga-harga komoditi lainnya, serta nilai tukar rupiah.
Ketidakpastian ini kerap membuat daerah salah menentukan perkiraan berapa DBH yang diterima, sehingga mengganggu perencanaan anggaran Pemerintah Daerah.
Kasus Iain seperti yang terjadi di Bojonegoro, di mana wilayah kabupaten yang dekat dengan lokasi sumur dan menanggung dampak sosial dari eksploitasi sumber daya alam tidak menerima alokasi DBH karena kabupaten tersebut berbeda provinsi dengan lokasi sumur.
Sedangkan wilayah yang jaraknya jauh dan tidak secara langsung terkena dampak buruk dari eksploitasi alam mendapatkan alokasi DBH karena satu provinsi dengan lokasi sumur. Hal ini semakin mendorong upaya transparansi untuk memperbaiki tata kelola mekanisme penyaluran DBH.
"Karena sifat SDA migas dan minerba yang tidak dapat diperbaharui, maka semua pihak mempunyai tanggung jawab yang sama untuk memastikan DBH yang berasal dari migas dan minerba bisa dialokasikan dengan efektif dan efisien, dalam upaya mewujudkan pembangunan ekonomi yang berkelanjutan, khususnya di daerah penghasil sumber daya aiam," tambah Montty.
EITI berupaya mendorong transparansi mekanisme alokasi dan penyaluran DBH agar terjadi kesaling percayaan (trus ) antara Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah dan masyarakat. Laporan ElTl tahun 2015 yang sudah dipublikasikan, telah mencantumkan informasi DBH sampai tingkat kabupaten. (FG/MC Riau).