Oleh : Elwahyudi Panggabean.
Jika datang kepadamu orang fasik membawa berita, periksalah dengan teliti. Agar kamu tidak menimpakan musibah pada suatu kaum, karena kamu tidak mengetahui masalahnya. (QS: AL-Hujrat - 6)
PAGI yang dingin. Tengah asyik menyeruput kopi panas di kafe sebuah instansi di Pekanbaru, pertanyaan setengah berteriak seorang wanita berhijab membuatku terkesiap:
"Hei...Pak Wahyudi. Kiranya Bapak orang Mandailing ya? Kukira selama ini, Bapak, orang Batak?!"
Spontan semua mata di kafe tertuju padaku. Merasa heran dan jengkel Aku menjawab pelan:
"Aku bukan orang Mandailing, Bu. Aku orang Batak. Margaku, Panggabean".
"Loh? Kalau Pak Wahyudi orang Batak, berarti: Kristen dong?!" wanita Melayu, usia 50-an itu membuatku makin geram. Tetapi, kucoba tenang.
"Berarti Pak Wahyudi, Kafir dong?" dia melanjutkan vonnisnya. Tetapi, kali ini nada suaranya pelan. Mungkin, karena dia menyebut kata: "Kafir".
Aku hanya senyum sinis. Tak perlu rasanya, menjelaskan panjang-lebar Sejarah Batak di area umum. Toh, sinisme serupa, kuterima dari orang-orang intlek. Malah, di dunia akademis.
Bahwa Batak identik dengan Non-Muslim di berbagai kawasan luar Tapanuli sudah semacam pembenaran. Justru, ada yang mempersepsikannya pada tindakan "keras" ala "Barbar".
Sulit membayangkan sebutan sinisme untuk "Batak" di lontarkan di kampungku, Batangtoru, di Tapanuli sono. Yang nota bene mayoritas Batak Muslim, tetapi selalu rukun dengan dua agama lain: Kristen & Budha.
Aku akui. Di Riau, kurun 33 tahun, aku menemukan kedamaian dari orang-orang Riau yang baik, ramah dan bersahabat. Atas dasar itulah aku mempersunting Gadis Riau, putri seorang Pak Haji yang lama bermukim di Jeddah.
Tetali, atas dasar itu pula aku terperangah dengan tudingan wanita tadi. Yang ternyata sekampung dengan istriku.
Daripada melaporkannya "Persekusi" lebih baik aku menggali sejarah...He3
Itu sebuah fenomena sosiologis. Tentu, terdengar lebih elok mempresentasikan Melayu dengan Islam. Atau, lebih dahsyat blunder "Kafir" bagi kalangan Non-Muslim.
Di rumah, aku membongkar literatur. Di dalam Buku Eksklopedia Nasional Indonesa kutemukan info penting bahwa Batak dan beberapa suku lain digolongkan pada Proto Melayu (Melayu Tua). Berimigrasi dari Dartan Benua Asia sekitar 2500 Tahun SM.
Melayu Muda (Deutero Melayu) berimigrasi 350 Tahun SM. Golobgan Melayu Muda, di antaranya: Minang Kabau, Melayu Deli, Melayu Riau, dsb..
Literatur lain, menjelaskan historia yang apik: Islam di Nusantara pertama kali hadir di Tanah Batak, tepatnya di Barus (Tapanuli Tengah) Abadv 7 Masehi.
Ada situs sejarah berupa Makam para ulama di Barus. Salah seorang Ulama ini, Syekh Mahmud seperti yang ditahrikhkan pada tahun 34 H sampai 44 H.
Atas dasar peneltian yang cermat, Sejarawan kemudian berani menyimpulkan bahwa ulama ini sebagai salah seorang Sahabat Rasulullah, saw.
Dari dua literatur agaknya layak dirilis hopotesis (dugaan sementara). Kesatu, Batak, ternyata lebih "Melayu". Kedua, Tanah Batak adalah kawasan pionir penerima ajaran Islam di seluruh jagad Nusantara.
Nah, bagaimana dengan sebutan "Kafir" tadi? Karena kata ini bersumber dari terminologi Al-Qur'an dan Hadis, aku perlu ekstra hati-hati. Karena aku sangat awam tentang Ilmu Fiqih Islam.
Namun, dari sekian banyak pendapat Ahli Tafsir yang kubaca, mayoritas setuju bahwa Kafir tidak otomatis julukan bagi Non-Muslim.
Secara etimologi kata "Kafir" berasal dari Bahasa Arab yakni kata "kufur" yang lebih-kurang, bermakna: mengingkari nikmat Allah.
Dan, semua ayat dalam Al-Qur'an, tentang penyebutan "kafir", memiliki Asbabun Nuzul (latar) yang spesipik serta ditujukan untuk kalangan tertentu saja.
Pengenalan yang kurang, menelorkan ketidakpastian. Pemahaman yang kurang melahirkan pra-sangka. Ini sangat berbahaya. Karena rentan mewujud jadi bara perpecahan.
Sejarah mada silam mecatat, "Warisan Politik Kolonial:, Dividi et Impera, acap menjebak kita: "Bermain Api di Atas Mesiu".
So, belajar dan bersikap teliti adalah kewajiban kita bersama: Ustad, guru, tokoh Agama, tokoh masyarakat, wartawan, orang tua, serta segenap elemen masyarakat.
Bagi kita para Serdadu Pena, sebaiknya tetap menjunjung tinggi motto: Peace Journalism (Jurnalis yang Mendamaikan).
Menulislah yang berimbang. Menulislah berdasarkan fakta. Melakukan chek and re-chek yang cermat guna menghindari penghakiman (Trial by The Press).
Urgen, meneliti kandungan kebenaran atas sebuah peristiwa, sebelum di lempar jadi konsumsi publik. Bukankah, wartawan satu-satunya profesi yang berwenang merekonstruksi fakta?
Adagium yang menyebut: "Lidah manusia lebih tajam dari pedang", layak kita cermati lebih bijak. Teliti saksama setiap bicara narasumber dan objek yang akan diberitakan.
Jangan sampai, goresan pena wartawan menyebabkan seseorang: menyembelih lehernya dengan lidahnya...****