Bisnis MLM, Analisa: Awal yang Baik Sering Berakhir Buruk
Penulis: Sastra Wijaya
Petunjuk7.com - Selama sepekan terakhir saya menggali informasi mengenai seluk beluk bisnis Multi Level Marketing, atau lebih sering disebut MLM, yang dilakukan oleh beberapa warga Indonesia di Melbourne.
Dengan bisnis yang mencari pasar warga Indonesia di Melbourne, kemudian timbul masalah ketika beberapa orang merasa dirugikan karena mereka tidak mendapatkan 'uang bergabung' yang mereka sudah bayarkan.
Setelah berbicara dengan kedua belah pihak, yakni mereka yang mencoba merekrut anggota untuk menjalankan bisnis MLM dan mereka yang merasa dirugikan, serta dari penelusuran berbagai artikel berkenaan dengan MLM, pendapat saya adalah bahwa bisnis MLM pada awalnya mungkin memiliki tujuan bisnis yang bagus.
Namun dalam perjalanannya sering kali menimbulkan hal yang buruk bagi mereka yang terlibat. Pada dasarnya, MLM memiliki dua prinsip dasar. Pertama, adanya produk yang dijual dan kedua, penjualan produk dipusatkan dan tergantung pada usaha anggota untuk mencari dan merekrut anggota baru.
Sejak model bisnis ini dimulai pertama kali di Amerika Serikat di tahun 1930-an, sudah banyak laporan media yang menulis penjualan produk dengan pendekatan MLM. Sebagian mengatakan bisnis MLM ini bila dijalankan dengan baik akan memberikan kesejahteraan kepada anggota.
Banyak pula yang yakin bahwa ini hanyalah skema bisnis penipuan, sering kali disalahdigunakan oleh mereka yang terlibat dan ingin mengambil jalan pintas untuk menjadi kaya. Yang sering kali terjadi dalam sistem MLM justru produk yang dijual menjadi tidak penting, bahkan diabaikan.
Fokus utama dalam bisnis MLM malah dipusatkan pada usaha mencari anggota sebanyak mungkin, karena kemungkinan mendapat penghasilan, atau komisi, akan lebih besar. Penghasilan ini berasal dari uang yang disetorkan anggota baru.
Psikologi Mereka yang Menawarkan Produk
Tidak diragukan lagi, banyak kalangan warga berpendapat jika MLM adalah penipuan. Beberapa negara termasuk Australia, Singapura dan Inggris sudah melarang model MLM berjaring lewat perekrutan seperti ini.
Karenanya, ketika menawarkan produk ini kepada anggota baru, sebagian orang kemudian menggunakan taktik untuk 'menjebak' calon pembelinya. Misalnya mengundang ke acara yang namanya berbeda sama sekali dengan acara yang sebenarnya.
Dari pembicaraan dengan beberapa orang yang merasa menjadi korban penipuan di Melbourne, misalnya, mereka diundang ke acara makan-makan, atau sekedar ingin bertemu dan ngopi saja, ada pula yang diundang untuk menonton acara budaya.
Kegiatan sosialisasi seperti ini digunakan untuk menutupi bahwa setelah orang-orang datang, mereka akan langsung diajak bergabung selain juga ada presentasi mengenai bisnis dan produk yang dijualnya.
Ketika ditanya, "kok undangannya acara makan-makan?", mereka yang mengundang akan menjawab, "memang sebenarnya acara makan-makan, karena dalam pertemuan itu kan ada makanan yang dihidangkan".
Secara teknis mungkin tidak salah, namun tidak mengherankan beberapa korban merasa kesal atas 'jebakan' tersebut.
Menurut saya yang juga terjadi adalah secara psikologis para korban ini tidak mempersiapkan diri untuk menghadiri sebuah acara bisnis.
Karenanya, ketika kemudian mereka datang ke acara tersebut, mereka cenderung mengambil keputusan yang salah, terlebih karena ada unsur 'pemaksaan' secara psikologi.
Inilah yang dikenal dengan sebutan hard selling dan ambush marketing.
Hard selling adalah usaha menjual sesuatu kepada orang lain dengan melakukan bujukan berkali-kali, hingga orang yang mereka bujuk akhirnya menerima tawaran. Alasannya karena mereka ingin segera bisa keluar dari situasi yang penuh tekanan tersebut.
Ambush marketing mengacu ketika seseorang tidak menduga akan ditawarkan dengan suatu produk.
Ditambah lagi dengan begitu banyak informasi yang disampaikan, para korban kemudian tidak memiliki banyak waktu untuk mencerna informasi. Di saat yang sama mereka harus segera membuat keputusan agar cepat selesai, tapi kemudian menyesalinya.
Dari kacamata penjual produk MLM, mereka seringkali berdalih tidak melakukan 'pemaksaan' ketika menjual produk. Sebaliknya, mereka mengatakan korban, atau mereka yang merasa dirugikan, yang dengan sendirinya memberikan informasi dan data pribadi secara 'sukarela'.
Dari beberapa laporan media, yang menjadi persoalan adalah ketika kasus penipuan ini dibawa ke ranah hukum menjadi susah dibuktikan, karena tidak ada bukti nyata mengenai apa yang sebenarnya terjadi.
Yang terjadi adalah 'perang' komentar antara kedua belah pihak, tapi tak ada kejelasan siapa mengatakan apa.
Mengapa Ada yang Menjadi Korban, Ada Juga yang Tidak?
Tidak semua yang dirayu, didekati, dan ditawari menjadi anggota MLM merasa menjadi korban. Ada yang dengan sukarela menjadi anggota yang kemudian mengikuti penjualan 'produk' dengan pola perekrutan yang disepakati.
Banyak pula yang memutuskan tidak menjadi angota, karena melihat tidak banyak manfaat bergabung dengan sistem MLM tersebut, apalagi jika fokusnya hanya untuk mencari orang sebanyak-banyaknya.
Sebagian lagi masuk secara 'sukarela', tapi belakangan merasa tertipu karena 'dipaksa'. Ada juga pihak yang mengatakan mereka seperti merasa 'dihipnotis' ketika ditawari produk MLM, sehingga memberikan persetujuan dalam keadaan tidak 'sadar' sepenuhnya.
Terlepas dari apa penyebabnya, mereka yang merasa menjadi korban sebenarnya masih memiliki beberapa kemungkinan untuk tidak mengalami kerugian.
Tergantung kapan mereka sadar jika sudah 'tertipu' dan ini akan menentukan apakah mereka bisa mendapatkan uang yang sudah disetorkannya kembali atau tidak.
Seorang korban kepada ABC mengatakan ia sadar melakukan kesalahan beberapa jam setelah bergabung dan langsung menghubungi bank untuk membatalkan transaksi kartu kreditnya.
Ia masih mengalami kerugian karena sebagian dibayar tunai. Tapi peraturan MLM seharusnya memungkinkan mereka yang menjadi korban untuk mendapatkan uangnya kembali di masa 'cooling period', yang bervariasi antara 1 sampai 14 hari, dimana konsumen dilindungi secara hukum dan memiliki hal yang membatalkan persetujuan. Ada juga korban yang kini berusaha meminta kembali langsung kepada penjual produk.
Korban lain sudah membayar lebih dari A$15.000 namun tidak merasa menjadi korban dan baru sadar beberapa bulan setelah sebelumnya berharap mereka akan mendapat penghasilan dari keanggotaan MLM tersebut.
Secara umum, mereka yang merasa menjadi korban ini awalnya merasa 'sendirian', karena mereka malu menceritakan 'kebodohannya' kepada orang lain soal apa yang sudah mereka alami.
Seringkali rasa malu ini membuat pihak berwenang mengalami kesulitan untuk membongkar kasus-kasus penipuan termasuk dalam bisnis MLM, karena korban awalnya enggan melapor ke polisi.
Ada istilah yang mengatakan 'it takes two to tango'. Diperlukan dua orang untuk berdansa tango, yang juga artinya dalam penipuan pun butuh dua pihak, yakni mereka yang berusaha menipu dan mereka yang menjadi korban.
Karena itu, inilah beberapa hal yang perlu Anda perhatikan jika ditawarai bisnis, terutama bisnis MLM yang saya sarikan dari sejumlah artikel dan laporan.
Bayaran untuk menjadi anggota atau memulai bisnis. Bila tujuan bisnis bermaksud menjual sebuah produk, biaya awal sebenarnya tidak diperlukan.
Biasanya mereka menggunakan alasan ada 'uang bergabung' untuk keperluan pelatihan dan pengembangan diri, padahal bentuknya hanyalah beberapa brosur murahanDijanjikan bisa mendapat uang banyak dengan sedikit usaha.
Memang mungkin saja kita bisa kaya tanpa kerja terlalu keras. Namun ini tidak mungkin terjadi pada semua orang yang ikut dalam bisnis semacam MLM.
Mendapatkan uang banyak perlu memerlukan kerja keras bukan sekedar merekrut orangPembelian produk seringkali disebut sebagai 'investasi' dan mereka yang membeli produk mendapat sebutan 'pemilik bisnis'.
Banyak perusahaan MLM berkali-kali menekankan seberapa banyak uang yang bisa dihasilkan. Namun tidak menjelaskan bagaimana Anda bisa mendapatkannya. Kebanyakan perusahaan MLM hanya akan bisa memberikan penghasilan sampingan saja, bukan penghasilan utama.
Sejumlah perusahaan MLM lebih mendorong anggotanya untuk mencari anggota baru, bukannya menjadikan anggotanya paham betul soal produk apa yang dijualnya.
Perusahaan yang diisi dengan banyak anggota namun tidak ada produk yang dijual, hanyalah menjadi kumpulan orang, bukan perusahaan yang akan bisa maju.
Sumber: Australiaplus.com