Kisah Guru Madrasah Memaafkan Pembunuh Anaknya, Sontak Hadirin di Pengadilan Menangis
Amerika Serikat - Seorang guru madrasah asal Thailand di Amerika Serikat memaafkan pembunuh anaknya, pernyataan menjelang vonis, yang membuat hakim dan hadirin di ruang sidang menangis.
Kejadian ini berlangsung di persidangan atas Trey Relford yang mengaku bersalah membunuh Salahuddin Jitmoud, putra seorang guru madrasah di St Louis, Missouri, Amerika Serikat.
"Saya marah kepada setan yang menggiringmu melakukan kejahatan sadis ini. Saya tidak menyalahkanmu. Saya tidak marah kepadamu. Saya memaafkanmu," kata ayah Salahuddin, Sombat, mengulangi pernyataannya dalam vonis awal November lalu.
Pernyataan Sombat yang datang dengan lima putranya yang lain mengejutkan mereka yang hadir di persidangan.
Pada tanggal 19 April, 2015, Salahudin mengantar piza di kompleks perumahan di St Louis dan ditikam sampai meninggal. Salahuddin yang berusia 22 tahun saat itu ditemukan berlumuran darah.
Pada malam pembunuhan, Sombat mengatakan, ia meminta anaknya untuk "mengantar satu piza lagi" sebelum pulang.
Dalam persidangan, selain memberikan maaf kepada Relford, Sombat juga meminta agar ia memberitahu siapa sebenarnya yang membunuh anaknya.
Polisi menangkap tiga orang terkait pembunuhan ini namun juri hanya mendakwa Relford dengan tuduhan pembunuhan, merusak barang bukti dan perampokan.
Pemberian maaf dan permintaan ini menyebabkan suasana emosional di pengadilan dan menyebabkan hakim yang tak bisa menahan tangis memutuskan untuk reses.
Saat sidang berlanjut, giliran ibu Relford yang memberikan penyataan,
"Saya bertanggung jawab penuh atas meninggalnya anakmu ... saya sangat berduka. Saya sangat terkejut atas pemberian maafmu."
Relford sendiri berdiri di ruang sidang dan juga meminta maaf kepada keluarga korban. Pada akhir pesannya ia memeluk ayah Salahudin. Hakim menjatuhi hukuman penjara 31 tahun untuk Relford.
Memaafkan ajaran dalam Islam
Dalam wawancara dengan BBC Thailand, Sombat mengatakan memaafkan mereka yang membunuh anaknya tidak lah mudah.
Namun inilah ajaran dalam Islam dan juga tujuan dari keluarga adalah tetap membawa semangat memaafkan sepanjang hidup, kata Sombat.
Selama dua tahun tujuh bulan persidangan mereka tetap berduka karena meninggalnya Salahuddin, namun "kami tak marah karena hal buruk bisa saja terjadi," kata Sombat.
"Saya juga berterima kasih kepada Allah bahwa saya tidak meninggal sebelum putra saya dan bahwa istri saya sudah meninggal terlebih dahulu. Karena bila dia (istri) hidup, dia tentu akan menderita," tambahnya.
Sombat lahir dan dibesarkan di tengah keluarga petani di Thailand tengah.
Ia melanjutkan studi di Universitas Missouri dan bertemu dengan calon istrinya, Linda Coloconis. Mereka memiliki enam putra dan tinggal di Lexington.
Sombat kemudian menjadi kepala sekolah satu madrasah di St Louis.
Malam pembunuhan
Pada tanggal 19 April 2015, ia menerima telepon dari orang yang tak dikenal.
"Saya sangat terkejut. Saya berbaring selama tiga setengah dan jam. Penelpon mengatakan Salahuddin meninggal. Saya tak siap," kata guru berusia 66 tahun itu.
"Saya berjalan di kamar yang gelap ... dan saya berseru Inna Lillahi wa inna ilayhi raji'un (Kita berasal dari Allah dan kepada-Nyalah kita kembali) ... Allah telah membawa kembali Salahuddin," kata Sombat.
Laporan WKYT TV, saluran TV di Kentucky, AS, menyebutkan kematian Salahuddin menimbulkan kepanikan di antara komunitas Muslim karena banyak yang khawatir terkait kebencian rasial.
Namun kemudian polisi menangkap tiga pelaku dan mendakwa Relford, yang didakwa merencanakan perampokan dengan menelepon pengantar piza.
"Saya tak yakin (Relford pembunuhnya). Ia ikut dalam perampokan dan mencoba untuk menyembunyikan bukti. Pengadilan telah memvonisnya 31 tahun."
Hadirin menangis
Kami memaafkan orang yang membunuh anak saya ... kami sepakat bahwa kami memafkannya," kata Sombat.
Saat di pengadilan, Sombat mengatakan ia meminta untuk berbicara langsung kepada Relford yang menangis saat ia mengatakan memaafkannya.
"Saat itu saya hampiri dia, saya pikir kuasa hukum akan mencegah saya. Saya melihat dia menangis, bahkan hadirin menangis, dan saya datangi dia," kata Sombat.
Sombat memberikan tisu saat melihat Relford menghapus airmatanya dengan seragam penjara, sebelum akhirnya mereka berjabat tangan dan berpelukan.
"Saya minta dia jangan sedih karena dia ada peluang untuk hidup dan berbuat baik," cerita Sombat.
Hampir satu bulan setelah vonis dijatuhkan, Sombat mengatakan dia merasa keadilan akhirnya tiba setelah menanti lama.
"Ini kehendak Tuhan. Kami harus menerima ... dan bahwa kami akan bertemu Salahuddin lagi di dunia lain," tambahnya.
Sejumlah komentar melalui Facebook BBC Thailand termasuk Boontha Lee Weeta yang menulis, "Ini (memberi maaf) adalah satu hal yang paling sulit."
Pengguna lain, Thanawat Pudchang menyatakan, "Inilah cobaan Allah. Ia beruntung menyadari bahwa ini adalah ujian, tak seperti para taipan yang menghamburkan uang setiap hari dan orang kaya yang bangkrut dan bunuh diri."
Sumber:BBCindonesia.com