Jakarta - Mahkamah Konstitusi (MK) menolak gugatan uji materi Undang-undang (UU) No 12 tahun 2016 tentang Kewarganegaraan pada Kamis (31/8). Ketua MK, Arief Hidayat membacakan putusan yang menyatakan bahwa mahkamah menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya.
"Mahkamah menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya," kata Arief sesuai rilis Mediaindonesia.com.
Pada sidang yang mengagendakan pembacaan putusan di ruang sidang utama MK itu, hakim anggota Anwar Usman menyebut dalam pertimbangannya, mahkamah menimbang tidak ada relevansi antara pasal 28H UUD 1945 yang digunakan sebagai dasar untuk menggugat UU Kewarganegaraan tersebut.
Anwar juga menegaskan bahwa ketidaktahuan penggugat terhadap kebijakan negara bisa dinyatakan sebagai kelalaian terhadap UU. Untuk itu, alasan pemohon yang tidak mendaftarkan anak hasil perkawinan campuran dengan warga negara asing sebelum lahirnya UU Kewarganegaraan pun tidak dapat diterima.
"Hal tersebut dikatakan sebagai bentuk kelalaian warga terhadap produk UU dan tidak bisa diterima," ungkap Anwar.
UU Kewarganegaraan tahun 2006 juga disebut Anwar adalah sebagai UU peralihan. Ia menyebut bunyi ketentuan tiap pasal dan fungsi UU sudah tepat mengatur mengenai kebijakan naturalisasi anak hasil perkawinan campuran baik sebelum maupun sesudah UU disahkan.
Gugatan uji materi UU Kewarganegaraan diajukan oleh Ira Hartini Natapradja Hamel, ibunda Paskibraka Istana Negara tahun 2016, Gloria Natapradja Hamel.
Gugatan uji materi itu dilakukan atas pasal 41 yang menyatakan bahwa tiap anak hasil perkawinan dengan WNA sebelum UU Kewarganegaraan disahkan harus mendaftarkan diri ke Kementerian Hukum dan HAM melalui pejabat negara yang berwenang paling lambat 4 tahun setelah UU disahkan untuk mendapatkan kewarganegaraan Indonesia atau biasa yang disebut naturalisasi.
Karena, anak yang lahir sebelum sebelum UU tersebut disahkan masih memiliki kewarganegaraan ganda dan harus memilih satu kewarganegaraan saat berusia 18 tahun atau saat akan menikah.
Sementara, untuk anak hasil perkawinan dengan WNA yang lahir pascapengesahan UU Kewarganegaraan otomatis menjadi WNI.
Sementara itu, seusai sidang Gloria menyatakan kecewa dengan putusan ini. Ia berharap permohonannya dikabulkan sehingga tidak ada lagi yang mengalami nasib serupa dirinya.
Gloria memiliki pengalaman pahit ketika nyaris batal menjadi Paskribaka di Istana Negara karena baru diketahui memiliki kewarganegaraan ganda menjelang peringatan Hari Kemerdekaan 17 Agustus 2016 lalu. Sebab, persyaratan menjadi anggota Paskribaka adalah harus WNI.
"Sayang sekali ya. Seharusnya jika memang kebijakannya seperti itu, negara harus lebih lagi menyosialisasikan kebijakan itu. Karena saya saja yang berada di Jakarta tidak tahu aturan tersebut. Bagaimana anak hasil perkawinan campuran yang berada di daerah?" tuturnya.
Ibu Gloria, Ira juga menyayangkan putusan tersebut. Sebab, ada persyaratan naturalisasi yang dinilai memberatkannya dan bisa menghalangi anak-anak hasil perkawinan campuran untuk meraih prestasi.
"Misalnya ketika dia paspor ganda akhirnya dia tidak bisa mengikuti ajang-ajang tertentu seperti Gloria. Daftar naturalisasi pun tidak mudah. Harus bayar Rp 50 juta dan itupun belum tentu langsung dikabulkan. Jika berprestasi seperto Gloria mungkin jalannya akan mudah. Tapi jika biasa-biasa saja kan pasti lebih sulit," ungkapnya.
Namun, Ira pun menerima putusan mahkamah tersebut. Ia juga mengatakan akan langsung mengurus naturalisasi Gloria karena usianya yang akan menginjak 18 tahun pada tahun depan.
"Kami akan urus segera. Sebelumnya kan saya menunggu dulu putusan ini," ujarnya. (mediaindonesia)