• Follow Us On : 
Di Suku Ini Lelaki Hanya Jadi Pejantan, Perempuan yang Berkuasa Seorang perempuan Mosuo sedang menenun di Lijiang, Yunan, Cina (Shutterstock).

Di Suku Ini Lelaki Hanya Jadi Pejantan, Perempuan yang Berkuasa

Senin, 03 April 2017 - 18:35:08 WIB
Dibaca: 2783 kali 
Loading...

Cina - Di sebuah lembah di Yunan, Cina, tepatnya di bawah kaki pegunungan Himalaya, hidup sebuah suku purba bernama Mosuo. Meski kolot, suku ini hidup dalam apa yang oleh masyarakat modern disebut cara hidup progresif.

Masyarakaat Mosuo hidup dalam tradisi matriarki yang sangat ekstrem. Anak-anak di suku ini tak mengenal konsep tentang ayah atau kakek. Tak ada pernikahan. Tak ada konsep keluarga inti - ayah, ibu, dan anak - seperti yang kita kenal.

Bagi masyarakat Mosuo perempuan adalah yang paling berkuasa. Saat santap malam, nenek atau perempuan tertua dalam satu rumah akan duduk di kepala meja, dikelilingi oleh putri dan putra yang tinggal bersamanya, demikian juga cucu-cucu, anak dari puteri-puterinya.

Pernikahan Berjalan

Di suku yang mayoritas menganut agama Budha Tibet ini  lelaki tak lebih dari pejantan; pendonor sperma, yang bertugas membuahi perempuan. Lelaki tak terlibat dalam membesarkan anak.

Perempuan dalam masyarakat Mosuo setara derajatnya dengan lelaki. Perempuan, demikian juga lelaki, bisa memiliki lebih dari satu pasangan seksual. Tetapi anak-anak dibesarkan dalam rumah yang dipimpin oleh perempuan.

Perempuan dan lelaki di suku yang hidup di sekitar Danau Lugu mempraktekkan apa yang dinamakan "pernikahan berjalan", sebuah konsep hubungan antara kekasih yang dikenal sebagai "axia".

Saat akan berhubungan seks, seorang lelaki akan menggantungkan topinya di depan kamar atau kediaman seorang perempuan. Itu tandanya, tak ada lelaki lain yang diizinkan masuk. Hubungan ini bisa berlangsung lama: mulai dari satu malam hingga ke hubungan seumur hidup.

Tetapi yang perlu diingat, pasangan tidak tinggal dalam satu rumah dan tak ada ritual resmi. Begitu saja.

"Bagi perempuan Mosuo, axia hanyalah cara untuk mencari kesenangan dari kerasnya kehidupan setiap hari, sekaligus juga untuk mencari pendonor sperma," kata Choo Waihong, penulis buku "The Kingdom of Women" (2017), yang berkisah tentang kehidupan komunitas Mosuo.

Bahkan perempuan Mosuo tak mau berepot-repot mencari tahu siapa ayah dari anak-anak mereka. Tak ada stigma negatif dibebankan kepada mereka akan hal ini.

Selain itu dalam suku Mosuo, perempuan berhak atas harta dan pemilik hak waris. Tak hanya itu, mereka juga menanam benih di sawah atau kebun, mengurus rumah, memasak, membersihkan, dan memelihara anak.

Lelaki Feminis

Lelaki membantu dalam pekerjaan-pekerjaan berat, seperti membajak, membangun dan memperbaiki rumah, dan membunuh hewan. Lelaki juga dilibatkan dalam musyawarah keluarga, tetapi keputusan terakhir tetap di tangan nenek atau perempuan tertua di rumah.

Meski tak punya tanggung jawab sebagai ayah, lelaki Mosuo punya tanggung jawab sebagai paman bagi anak saudari-saudari mereka. Saudara lelaki perempuan tertua di rumah bahkan memainkan peran sebagai orang paling berkuasa kedua di dalam rumah.

"Dari segala sisi, lelaki Mosuo adalah feminis," kata Waihong, "Anak-anak lelaki merawat saudara-saudara mereka yang masih bayi. Seorang lelaki tua Mosuo pernah menyuruh saya menunggu, untuk melakukan pembicaraan bisnis, sampai dia selesai memandikan dan mengganti popok bayi kembar dalam keluarganya," kenang Waihong.

Tak adanya pernikahan dan konsep ayah, hubungan antara lelaki dan perempuan hanya didasarkan cinta atau kesenangan semata.

"Semua perempuan Mosuo pada dasarnya lajang," kata Waihong.

Meski demikian, karena hidup berpusat pada ibu, maka memiliki anak bagi perempuan Mosuo sangat penting. Para gadis remaja Mosuo sangat ingin memiliki anak.

"Ketika menjadi ibu, hidup seperti sudah sempurna," imbuh Waihong.

Lalu apa yang terjadi ketika seorang perempuan tak memiliki anak? Bagaimana jika mereka cuma memiliki anak lelaki?

"Mereka akan secara resmi mengadopsi anak. Lebih sering mengadopsi anak sepupu dari garis keturunan ibu," beber Waihong.

Tetapi kini perubahan mulai terasa. Sejak aliran turis dari kota mulai masuk di awal era 1990an, diiringi dengan pembangunan infrastruktur seperti jalan dan bandara, cara hidup suku Mosuo mulai ditinggalkan oleh generasi mudanya.

Separuh perempuan Mosuo berusia 30an tahun sudah tinggal dan menikah bersama lelaki pasangan mereka. Mereka memiliki anak dan tinggal bersama. Sebagian kecil lelaki dan perempuan dalam komunitas itu juga menikah dengan orang dari luar komunitas Mosuo dan pergi ke kota lain. (Suara.com/The Guardian)



Loading...

Akses petunjuk7.com Via Mobile m.petunjuk7.com
TULIS KOMENTAR
BERITA TERKAIT
BERITA LAINNYA
Loading...
KABAR POPULER