Petunjuk7.com - Kelompok penganut kepercayaan Ugamo Bangso Batak di Sumatera Utara, bersuka cita menyambut kebijakan pemerintah mencantumkan kolom khusus penghayat kepercayaan di Kartu Tanda Penduduk Elektronik (KTP-el).
Kabar tersebut seolah telah mewujudkan apa yang dicita-citakan mereka. Dengan begitu, ke depan generasi mereka bakal mendapat hak-hak yang sama seperti pemeluk agama lain yang telah diakui pemerintah.
Desain KTP-el bagi para penghayat kepercayaan yang diusulkan Ditjen Kependudukan dan Catatan Sipil (Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) telah disetujui Presiden Joko Widodo, Rabu (4/4) pekan lalu.
Nantinya keterangan yang ada di KTP-el penghayat kepeercayaan, berbeda dengan pemeluk enam agama di Indonesia.
Kolom agama dalam data yang tertera di KTP-el berganti menjadi kepercayaan. Sementara keterangan kepercayaannya diseragamkan menjadi “Tuhan yang Maha Esa”. Berbeda dengan pemeluk agama yang keterangannya berisi Islam, Katholik, Protestan, Hindu, Buhda dan Konghuchu.
Perubahan tersebut merupakan tindaklanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 97/PPU-XIV/2016.
Sebelum adanya putusan tersebut, penganut kepercayaan harus mengosongkan kolom agama atau memilih salah satu agama yang diakui jika ingin memiliki KTP.
“Tentunya kami sangat senang dan gembira mendengar berita tersebut. Inilah yang memang kami harapkan,” kata Ketua Adat Ugamo Bangso Batak (UBB) Kota Medan, Arnold Purba, Minggu (8/4).
Arnold juga mengaku tidak mempersoalkan aliran kepercayaan mereka tidak dituliskan sesuai dengan keyakinan yang mereka anut. Sebab kolom agama yang tertulis ‘Percaya terhadap Tuhan Yang Maha Esa’ menurut dia sama saja.
“Itu sama saja. Hal itu pula yang kami perjuangkan sampai ke MK (Mahkamah Konstitusi) tahun lalu,” imbuh Arnold, yang merupakan salah satu pejuang penghayat kepercayaan di Indonesia.
Dalam waktu dekat, menurutnya akan ada sarasehan nasional yang digagas Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, di Laguboti, Sumatera Utara pada 23 April-26 April 2018.
Sebelumnya, bersama kelompok penghayat kepercayaan yang ada di Sumut, mereka sudah menggelar rapat setelah mendengar berita dimaksud.
“Sarasehan Nasional itu rencananya digelar di Hotel Sere Jalan Sisingamangaraja, Laguboti. Dipimpin dari direktorat yang salah satu agendanya membahas tentang penghayat kepercayaan ini ke depan. Lebih spesifiknya soal hak-hak kami,” katanya.
Selain itu, UBB ke depan bakal memohonkan ke Kementerian Tenaga Kerja untuk penerimaan TNI/Polri agar disampaikan secara terbuka khusus pada kolom agama.
Sebab di KTP, Kartu Keluarga, Akte Lahir dan administrasi kependudukan lainnya, mereka sudah sering berkoordinasi dan berkomunikasi dengan Disdukcapil setempat.
Arnold sebelumnya menyebut, khusus di Sumut penganut UBB tersebar di Kota Medan, Tanjungbalai dan Pusuk Buhit Samosir, dan Pekanbaru, Riau.
“Dulunya UBB di Sumut tercatat ada 60 KK. Mungkin dikarenakan kesulitan penerimaan masuk ke agama ini, atau kurang setia dan kurang aktif dalam setiap ritual ibadah, penganut penghayat ini sekarang tinggal 30-an. Itu termasuk yang di Pasubuhit, di Samosir. Nah kalau di Medan hanya sekitar 10 atau 11 KK lagi,” terangnya.
Menyikapi ini, anggota Komisi E DPRD Sumut Zulfikar menilai, kebijakan pemerintah itu tidak sesuai sila Pertama Pancasila. Sikap mengakomodir penganut di luar agama yang diakui itu pun dikhawatirkan akan menuai masalah di masa depan.
Menurutnya, akan merepotkan ketika semua aliran kepercayaan, yang merupakan hasil pemikiran manusia, dianggap sebuah agama. Sebab bukan tidak mungkin akan muncul aliran dari kelompok lain di luar dari yang diakui saat ini, yang juga menuntut pengakuan Negara.
“Apakah misalnya kepercayaan itu hanya sekedar percaya saja tanpa ada sebuah nilai yang mengaturnya. Setiap agama kan ada nilai, terlepas dari besar kecilnya, menyeluruh atau sebagian kecil saja. Kalau kepercayaan ini biasanya cukup ‘eling’ saja,” jelas Ketua Fraksi PKS DPRD Sumut ini.
Selain itu, Zulfikar juga melihat bahwa pengakuan aliran kepercayaan di KTP bukan sekadar indentitas semata.
Sebab dengan diberikannya kesempatan itu, maka semakin membuka potensi akan terjadinya carut marut soal aliran-aliran yang mengklaim agama.
Kekhawatiran tersebut katanya, cukup beralasan. Sebab persoalan seperti ini bukan baru terjadi, melainkan sudah sejak lama muncul.
Banyak pemikiran orang seperti mengaku nabi, kemudian membuat komunitas atas nama agama di luar dari yang ada. Dengan demikian, fungsi kontrol Negara dalam hal ini kata Zulfikar, hampir tidak ada.
“Kami sangat tidak sepakat. Saya pikir beberapa agama yang diakui itu sudah final. Karena yang seperti ini kan wacana lama. Sementara kita sudah punya ukuran yang diakibatkan secara formal oleh Negara,” katanya.
Diberitakan sebelumnya, Kemendagri telah menyiapkan KTP khusus bagi penghayat kepercayaan di Indonesia.
“Iya (ditulis ‘Percaya terhadap Tuhan Yang Maha Esa’). Tidak (disebut kepercayaannya). Karena ada aliran kepercayaan yang besar itu semua beragama. Ada Islam, Katolik, Kristen, tapi berhimpun dalam organisasi kepercayaan,” kata Mendagri Tjahjo Kumolo, pekan lalu.
Secara fisik, tidak ada perbedaan antara KTP yang berkolom agama dan kolom penghayat kepercayaan.
Tjahjo mengatakan jumlah KTP yang disiapkan untuk penghayat kepercayaan di Indonesia sekitar 138 ribu dari 187 kepercayaan yang berada di 13 provinsi.
“Ini data dari Kemendikbud. Kalau enam agama sah datanya ada di Kementerian Agama,” katanya.
Dikatakan Tjahjo, kebijakan yang dilakukan pemerintah ini harus diterapkan karena berdasarkan putusan dari Mahkamah Konstitusi, kolom untuk penghayat kepercayaan harus dimasukkan di KTP.
Namun proses ini akan mulai dilakukan seusai Pilkada Serentak 2018 ini agar tidak mengganggu pesta demokrasi tersebut.
“Keputusannya, pemerintah harus cepat melaksanakan putusan MK. Putusan MK itu final dan mengikat,” katanya.
Ditegaskan Tjahjo, perubahan ini hanya dikhususkan bagi WNI penghayat kepercayaan. Sementara yang bukan penghayat kepercayaan tetapi sudah memiliki e-KTP tak perlu melakukan perubahan.
“Ya hanya untuk aliran kepercayaan. Karena ada daerah yang tidak ada masalah. Ada tingkat dua yang dikosongkan boleh dan diisi juga boleh. Tapi Kuningan tidak mau. Yang Sunda Wiwitan tidak mau kalau tidak disebut agama. Makanya mereka ajukan ke MK, dan MK mengatakan harus dicantumkan apapun keyakinannya. Itu saja,” jelas Tjahjo.
Untuk proses pembuatannya, Tjahjo juga menegaskan sama seperti proses pembuatan KTP pada umumnya.
Apalagi setelah nanti peraturan Mendagri terkait batas waktu pengurusan dokumen kependudukan dibuat, maka proses pengurusan KTP untuk penghayat kepercayaan seharusnya juga bisa segera selesai.
“Nanti di dalam permendagri akan kami selipkan waktu pelayanan KTP. Supaya ada pemahaman yang sama. Ini kan negara besar. Bukan seperti Singapura negara kecil. Ada orang komplain, ‘Kok nggak kayak Singapura bikin e-KTP cepat.’ Singapura kan negara (yang luasnya) kecamatan. Ini kan negara dari Sabang sampai Merauke, yang kadang-kadang listriknya nyala, kadang mati. Yang nguasain komputer hanya satu orang saja,” jelasnya.
Sementara itu, Presiden Joko Widodo meminta kemendagri melakukan percepatan pelayanan E-KTP.
Pasalnya, lanjut dia, identitas kependudukan menjadi kunci bagi masyarakat mengakses layanan publik seperti perbankan dan lainnya.
“Mungkin dibuat Permendagri yang langsung dibatasi waktunya selesai E-KTP-nya berapa hari, syukur berapa jam,” tuturnya.
Untuk daerah yang aksesnya jauh, presiden juga meminta kemendagri melakukan upaya jemput bola.
Menanggapi hal itu, Mendagri Tjahjo Kumolo mengatakan, pihaknya akan menindaklanjuti instruksi tersebut. Pekan ini, jejarannya akan segera merumuskan permendagri yang mengatur terkait standar pembuatan E-KTP yang cepat dan efisien.
Dia menjelaskan, dari segi teknis, membuat E-KTP dengan cepat sangat memungkinkan. Jika semua peralatan tidak ada kendala, bahkan bisa selesai dalam waktu kurang dari satu jam.
Apalagi, stok blangko E-KTP saat ini cukup melimpah. “Kecuali ada permasalahan itu (mesin rusak atau listrik mati). Itu ada pengecualian,” ujarnya.
Untuk itu, yang jadi fokus jajarannya saat ini adalah memangkas lambatnya birokrasi. Dia mengingatkan, di UU Adminduk yang baru, kepala dinas dukcapil daerah diangkat dan diberhentikan oleh mendagri.
Untuk itu, Tjahjo bisa saja mencopot kepala dinas yang tidak mau menjalankan instruksinya. “Kalau tidak bener bisa setiap saat kita ganti,” terangnya.
Sumber:Sumutpos.co