D E S A
PENYANYI dan pencipta lagu legendaris Iwan Fals, kelihatannya jauh lebih peka daripada pemerintah soal membangun perdesaan. Beberapa lirik lagunya memekikkan soal desa yang dimarginalkan. Munculnya berbagai problema desa oleh ketimpangan.
Desa sebagai sentra kehidupan, tak bisa menjadi sentra perubahan. Sementara kawasan perkotaan terus melejit dengan pembangunan drastis dan kompetitif.
Kota yang menjadi magnet dan mengiming-imingi. Telah mewujud sebagai arena menggiur yang membuat penduduk perdesaan terbius. Apa pun mereka lakukan untuk memenuhi panggilan kota.
Bila perlu, menjual lahan dan melego semua harta di kampung. Yang penting, bisa bekerja dan tinggal menetap di kota. Ini kecenderungan yang sudah lama mengusik sebagian rakyat negeri ini.
Wajar jika migrasi penduduk dari desa tumpah secara tak terkendali ke kota-kota besar di Nusantara.
Ada aroma ambisi memasuki dunia birokrasi dan PNS yang sengaja diembuskan ke desa. Lantas, janji-janji muluk jika kelak berhasil menjadi PNS sengaja dilambungkan untuk menggaet minat para penduduk yang sebenarnya telah lebih dulu menimba ilmu pendidikan sebatas SLTA di perkotaan.
Para orang tua, yang umumnya “tunduk” dengan kehendak trendi anak, baik karena ketidakpahaman, maupun kerena tertular tren kehidupan masa kini, memberi peluang dan dorongan.
Dukungan bisa berarti wujud bantuan material. Menjual lahan yang selama ini sebagai sumber nafkah, tidak jadi soal. Asalkan anak bisa berkirim kabar bahwa ia telah diterima bekerja di kantor pemerintah.
Realita demikian menjadi sesuatu yang lazim. Ada kebanggaan tersendiri saat menjalani proses memasukkan anak ke dunia birokrasi. Terlepas bagaimana prestasinya, bagaimana kedudukan kelak, itu soal rezeki.
Yang penting, ada bahan gunjingan antarsesama di kampung. Bahwa anaknya telah ikut dalam sebuah arus besar di dunia terhormat pegawai negeri.
Apa faktor lain yang turut memicu ambisi ini? Kesatu, banyak kaum birokrat yang ketika mudik alias pulang kampung ke tanah kelahiran, sudah mampu menunjukkan penampilan eksklusif.
Dengan mobil pribadi atau mobil dinas, berpakaian necis ala figur-figur orang kebanyakan di layar kaca. Membuat orang desa tergiur karena mereka melihat lebih jelas dan nyata setelah mereka menontonnya di televisi.
Walau sesungguhnya, yang dipamerkan pemudik itu, belum tentu hasil jerih payah, prestasi dan representasi dari kinerjanya secara jujur di birokrasi.
Kedua, kondisi di perdesaan yang tak lagi kondusif dalam upaya bersaing merebut kehidupan di alam sekitar. Eksploitasi hutan yang selama ini menjadi komoditas andalan, telah merobek harapan tinggal di kampung halaman, setelah hutan diobrak-abrik secara buas oleh oknum-oknum biadab dari kota.
Imbas kekerasan lingkungan ini sangat luas. Bukan hanya warga desa kehilangan sumber nafkah, tetapi terusiknya habitat hewan telah berimbas ke perladangan penduduk akibat munculnya bencana alam dan ancaman hama binatang.
Ketiga, belum mampunya pemerintah memenuhi janjinya membangun dan mengubah perdesaan sebagai pusat perekonomian. Program ekonomi kerakyatan terus diekspos luas dan riuh di media massa, tanpa realisasi riil dan maksimal di lapangan.
Sementara angka kemiskinan di desa terus membengkak dalam angka-angka proyek dan membengkak dalam problema kemiskinan itu sendiri.
Kondisi ini telah melahirkan apatisme warga desa untuk peduli dengan tanah leluhur mereka. Kota mesti dilirik sebagai tempat yang dengan mudah menyulap si Miskin menjadi si Kaya.
Ketika menjatuhkan pilihan harus hijrah ke kota, sesungguhnya para penduduk perdesaan berbekal nyali dan kekhawatiran. SDM yang boleh dikatakan amat lemah dibanding warga kota, telah menutup salah satu peluang bersaing di arena kompetisi yang tajam.
Alternatif terakhir, menerima pekerjaan apa saja, walau sebagai buruh pabrik murahan yang tenaganya siap sedia dieksploitasi. Siang-malam.
PHK setiap saat menghantui karena bisa muncul dari celah mana pun: efisiensi, kenaikan dana operasional, ancaman yuridis, terlebih di era melambungnya tarif BBM kini.
Imbas selanjutnya adalah, investor perkotaan yang telah meluluhlantakkan hutan desa dan menyebabkan kemelaratan warga kampung, kembali melirik lahan-lahan tak bertuan yang telah ditinggalkan warga desa.
Mereka, dengan kemudahan-kemudahan moneter dan investasi dari lembaga keuangan, hadir menguasai lahan-lahan penduduk setelah memberi ganti rugi di bawah harga standar.
Lantas, dalam sekejap mereka telah mengubah alam perdesaan menjadi kawasan perkebunan. Harga komoditas kelapa sawit masih menggiurkan di pasaran internasional.
Nah, siapa yang jadi buruh dan sapi perahan di lahan kebun mereka? Kalaulah tidak orang tua-tua yang telah ditinggalkan anaknya merantau, pastilah pemuda desa, yang dulunya rela putus sekolah demi hajatan orang tua memberi prioritas saudaranya menimba ilmu di kota.
Mereka-mereka inilah yang dijadikan pengelola kebun para pemilik modal. Yang setiap saat keringat dan darah mereka disedot demi memperkaya si pemilik kebun.
Alternatif ini terpaksa mereka terima, mengingat dana ganti rugi yang diberikan, telah mulai menipis oleh tuntutan kebutuhan dan kehidupan.
Ini memang semacam lingkaran setan. Toh, pihak yang dirugikan tetap saja kaum yang lebih lemah. Siklus seperti ini terbentuk spontan di berbagai kawasan di negeri ini.
Sebuah realitas yang sulit dipahami dan dimengerti pemerintah yang bisanya hanya sekadar menabur uang untuk kompensasi BBM yang sengaja dinaikkan atas dalih tidak ada jalan lain yang mesti ditempuh.
Toh, setelah keputusan itu diambil, kelihatannya justru menjadi objek baru bagi aparat pemerintah yang sudah terlatih dalam ilmu kibul dan dunia tilap-tilapan.
Nah, apa yang bisa dipetik dari orang-orang desa yang sudah menetap di kota? Jawabannya tentu bervariasi. Syukur-syukur mereka beruntung masuk dalam black market korupsi masa kini.
Dengan frekuensi dan kapasitasnya yang berbeda; toh, perilaku demikian menyenangkan. Mungkin saja ketika dia pulang ke desanya, seorang koruptor akan berkedok dermawan, membantu rumah ibadah dan satu-dua orang susah.
Biasanya mereka yang berkecukupan, tak akan bersedia berlama-lama di kampung. Mereka sadar betul, waktu bagi mereka adalah sesuatu yang berharga. Atau sengaja mempersingkat waktu kunjungannya ke tanah leluhurnya.
Khawatir kalau-kalau keluh kesah sanak famili lebih sering terdengar merepotkan telinga. Ada yang minta tolong memasukkan anaknya kerja; dan ada yang langsung memohon bantuan untuk banyak hal. Ini sesuatu yang rill. Tetapi, bagi pemudik berduit, menjengkelkan.
Bagi yang tidak beruntung, desa hanya sebagai momen mudik tahunan. Sekadar sungkem kepada sanak saudara, handai tolan di surau yang masih layak dikunjunginya, menjadi kenangan manis juga.
Tetapi, bila kondisi alam perkotaan yang dihadapinya selama ini menempatkannya pada pihak yang kalah, niscaya dia akan memperpanjang kunjungan. Atau, menetap di kampung halamannya.
Jika ia memilih alternatif terakhir ini, tentu ini menjadi beban susulan bagi orang tua dan masyarakat desa.****
Penulis: Drs Elwahyudi Panggabean, MH.
Direktur Pekanbaru Journalist Center.
Pimum petunjuk7.com.