Pilgubri dan Jurnalisme Parfum
Tidak masalah, seorang wartawan “dekat” dengan penguasa. Tetapi, kedekatan itu sebaiknya bermanfaat bagi masyarakat.
(HAMKA)
JENUH. Sedari tadi mengutak-atik Android. Aku memilih menghempaskan kelelahan di atas kursi. Suhu politik, mulai memanas. Dinding face-book dipenuhi link ragam berita. Pengamat politik mulai tumbuh. Berhelat-kongkow di kafe-kafe sembari mengumbar analisis. Ini trendy baru.
Asyiik juga. Fenomena ini, sama sekali tidak terlihat di tahun 2003. Awal orang-orang sipil, mulai berkuasa di Riau. Saat kuantitas pers, masih terbatas. Namun, unik. Pilgubri 2003 adalah bukti perlawanan rakyat Riau secara menyeluruh. Memihaki bangkitnya sivil society.
Bayangkan. Grup Perusahaan Pers yang mengklaim diri paling berpengaruh, tak berkutik. Tak berdaya melihat “jagoannya” tersungkur. Era kekuasan militer, ternyata: berakhir sudah: "And soldier without a gun…."
Ini yang akhirnya, disadari semua pihak. Bahwa seorang pemimpin, bisa tampil beda. Bertekad untuk bertarung membawa misi perubahan. Menawarkan solusi total: rakyatlah yang mesti diberdayakan.
Karena pemimpin sejati, berarti seorang visioner dan inspirator. Seorang pemimpin sejati ogah umbar janji. Karena janji, pada akhirnya, hanya pemanis kampanye.
Saatnya menyadari—bahwa kekuatan uang—tidak lagi “senjata terkuat” pada pertempuran merebut kekuasan ini. Justru penentunya: informasi yang dipunyai rakyat banyak.
Sebanyak apa pemilih memiliki informasi terbaik tentang Paslon (Pasangan Calon) Pemimpin, akan berkorelasi dengan kapasitas suara yang diperolehnya.
Lantas, di mana posisi jurnalisme? Jawabnya, merujuk pada filosofi lahirnya jurnalisme di tengah khalayak. Secara sederhana, analisis dari sepotong ungkapan di Film Rann tampaknya, mencerahkan. Tesisnya begini:
Industri dan usahawan membiayai pemerintahan. Eksekutif menjalankan roda pemerintahan serta politisi yang mengontrol sistem pemerintahan itu. Lantas, dari mana rakyat awam tahu bawa orang-orang terhormat ini menjalankan tugasnya dengan benar? Untuk itulah: media dilahirkan.
Media diciptakan untuk menyuguhkan informasi yang jujur kepada masyarakat. Kedekatan wartawan dengan penguasa harus berada dalam lingkup tugasnya sebagai pemburu informasi. Artinya, kedekatan itu harus dalam rangka mempermudah wartawan mendapatkan informasi untuk disajikannya kepada publik.
Makanya, perburuan itu harus tata pada Kode Etik Jurnalistik. Agar si Wartawan tidak ikut bias kala penguasa sudah bisa/menyimpang. Keteguhan hati seorang wartawan tercermin dari produk-produk berita yang dia tulis. “Mesin yang bersih menghasilkan tenaga yang kuat,” kata Iklan Oli Motor.
Kemenangan figur sipil merebut Kursi Gubernur di Pilgubri 2003, jadi bukti empiris. Pers yang tampil dengan berita success story semata, nyatanya tidak cukup tangguh.
Meski didukung institusi pers dalam jumlah banyak. Menabur parfum (pengahrum) di onggokan kotororan tentu tidak bertahan lama.
Tetapi, setuju atau tidak. Hari ini, sebagian besar pers berada dalam lingkup jurnalisme parfum itu. Kita sebagai wartawan, terlalu riskan mengappresiasi kemerdekaan yang kita punyai. Kewenangan berburu informasi tentang kebenaran kita terjemahkan untuk kepentingan instan merebut posisi di zona aman.
Bagi kalangan tertentu, “kemurahan hati” profesi ini tidak hanya menawarkan fulus bagi pemangkunya. Juga jabatan-jabatan strategis bagi segelintir orang. Walau harus meninggalkan tugas dasarnya yang lebih mulya. Jurnalis jadi senjata pressure, sudah cerita lama. Ini realita.
Namun, saat musim panen tiba, era Pilgubri pra-tempur ini misalnya. Mereka sudah kembali tampil memakai jubah jurnalis. Tentu tidak ingin ketinggalan memetik “bunga”. Era media on-line kini, metodenya lebih gampang.
Dengan bermodalkan “wajah lama” nya, badan hukum dan dan menggaji seorang staf admin, semua bisa beres. Tinggal memasang link dengan Tim Sukses. Toh, parfum bisa diisi ulang….
Tetapi, jangan salah. Ke-empat Paslon Gubri, ternyata telah lama membaca “kelemahan” Peta Pers Riau. Bahwa kini dan masa silam, Gubernur Riau dikelilingi para “jurnalis parfum” adalah situasi yang diciptakan.
Buktikan saja! Apakah pihak Paslon Gubri yang memohon memasang kontrak kerja sama dengan media. Atau sebaliknya?
Kepiawaian penguasa mengumpan pers dengan uang rakyat lewat dana-dana advertorial dan pariwara di media, diyakini sebagai proses menjauhkan wartawan dari kemerdekaannya.
Di masa silam, program ini telah menciptakan kelas elite bagi segelintir wartawan yang berkantor di Gedung Pencakar Langit.
So, kita dipermalukan juga. Saat Gubernur kita diciduk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dari kursi kekuasaannya.
Penangkapan KPK berdasarkan hasil operasi inteleijen yang cermat. Padahal, kewenangan investigasi sejatinya, lebih sempurna dilakoni wartawan.
Malah, Gubernur terpilih 5 tahun silam diciduk KPK sebelum genap 8 bulan menjabat. Padahal, mendudukkan dia di jabatan Gubernur Riau bukan perkara gampang.
Energi dan dana besar rakyat terkuras hanya untuk jabatan sesaat. Apa boleh buat. Inilah hasil yang kita petik dari “jurnalisme parfum” yang kita perankan di pra–Pilgubri kala itu.
Kini, dalam persaingan media on-line merebut fulus di pasar sempit, semakin menajam. Minimnya pemahaman pengelola media tentang Search Engine Optimization (SEO) dan ilmu On-line Marketing merupakan kendala terbesar media berbasis internet ini.
Karena peluang mereka meraup iklan tak terbatas, menjadi tertutup. Akibatnya, fenomena ini menjadi warna baru dalam prebutan “pengaruh” menjelang Pilgubri.
Angka perbandingan pengguna Medsos dan kuantitas wartawan adalah ironi baru di atas ketidakberdayaan “jurnalisme parfum” itu sendiri. Simak saja: hari ini data Dewan Pers menyebut jumlah wartawan Indonesia memang sudah mencapai 80 ribu.
Tetapi, Perusahaan Face-Book merilis angka pengguna Face-Book di Indoensia sudah mencapai 115 juta. Bayangkan jika 5 persen saja, Facebooker itu aktif menulis status satu sehari tentang informasi…
Toh, sejarah juga tidak selamanya mencatat hasil linier. Maksudnya, media pemeran “jurnalisme parfum” di Riau toh mampu juga mencapai tingkat konglomerasi? Ini, mungkin pengaruh aspek sosiologisnya. Analisisnya sebagai berikut:
“Jika di suatu daerah ada perusahaan pers yang tumbuh dengan kekayaan ekonomi. Tetapi, redaksi media itu selalu menyembunyikan informasi tentang kebenaran. Berarti masyarakatnya lah yang sedang ‘sakit’…” ***
Penulis: Drs. Wahyudi El Panggabean, M.H., (Direktur Lembaga Pendidikan Wartawan Pekanbaru Journalist Center)
Sumber:PJCnews.com