Isu 'Ongkos' Partai di Indonesia Sebagai Mahar Politik antara Ada dan Tiada
Jakarta - Kemunculan isu pertukaran sejumlah uang dengan dukungan politik antara calon peserta pemilihan kepala daerah dengan partai politik terus berulang dari tahun ke tahun.
Komisi Pemberantasan Korupsi, KPK, menyebut mahar politik membuat mayoritas peserta mengeluarkan ongkos pilkada yang lebih besar dibandingkan laporan harta kekayaan mereka.
Di sisi lain, Komisi Pemilihan Umum, KPU, menilai isu mahar politik sulit dibuktikan dan sejak era pilkada secara langsung, baik KPU maupun Badan Pengawas Pemilu belum pernah menjatuhkan sanksi terkait mahar tersebut.
"Tidak pernah ada buktinya, lalu kami harus bagaimana? Tidak ada juga yang melaporkan, itu kan deliknya aduan," kata Komisioner KPU, Ilham Saputra, kepada BBC Indonesia, Jumat (12/1).
Dalam penelitian KPK tahun 2016 ditemukan bahwa calon wali kota atau bupati rata-rata mengeluarkan uang Rp20-30 miliar. Sedangkan ongkos politik yang dikeluarkan calon gubernur lebih besar, sekitar Rp100 miliar.
Berdasarkan kajian yang melibatkan 286 peserta pilkada di 259 tempat itu, KPK menyebut pengeluaran antara lain terdiri dari honor saksi di tempat pemungutan suara dan logistik kampanye.
Namun terdapat pula pengeluaran besar yang tidak dilaporkan peserta pilkada ke KPU. "Yang kami lihat dari mahar adalah implikasinya," kata Wakil Ketua KPK, Saut Situmorang, kepada BBC Indonesia.
KPK mencatat pemenang pilkada yang mengeluarkan ongkos besar akan cenderung memberikan kemudahan perizinan dan akses pengadaan barang atau jasa di lingkungan pemerintah daerah kepada pihak tertentu.
Dalam persoalan mahar politik teranyar, kader Gerindra, La Nyalla Mattalitti, menuding partainya meminta uang sebesar Rp40 miliar sebagai syarat mendapatkan dukungan Partai Gerindra pimpinan Prabowo Subianto untuk menjadi bakal calon gubernur Jawa Timur.
Akan tetapi, mantan Ketua Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia itu mengklaim total upah saksi di TPS yang harus ditanggungnya semestinya tidak sebesar itu.
"Dari 68.000 TPS di seluruh Jatim, dikali Rp200.000 per orang, dan dikali dua orang, berarti Rp28 miliar. Tapi yang diminta Rp40 miliar dan harus diserahkan sebelum 20 Desember. Enggak sanggup saya," ujarnya kepada pers di Jakarta, Kamis (11/01).
Wakil Ketua Gerindra, Arief Puyono, menganggap La Nyalla memang harus menanggung biaya saksi sebesar tersebut. Bahkan, kata dia, jumlah itu belum termasuk Rp20,5 miliar untuk pelatihan saksi.
"(Jumlah itu) sangat wajar karena kemenangan calon kepala daerah kuncinya adalah kekuatan para saksi di TPS," kata Arief dalam keterangan tertulis.
Tak ada larangan?
Pasal 47 UU NO. 8/2015 tentang Pilkada dengan jelas melarang partai atau gabungan partai politik menerima imbalan dalam bentuk apapun selama proses pencalonan kepala daerah.
Sebaliknya, pasal itu juga melarang setiap orang memberikan imbalan kepada partai dalam proses pencalonan pilkada.
Jika pengadilan menyatakan suatu partai melanggar ketentuan itu, maka mereka tidak diizinkan berpartisipasi dalam pilkada berikutnya di daerah tersebut.
Meski demikian, anggota KPU Ilham Saputra menyebut penyelenggara pilkada tidak mendapak hak oleh hukum untuk mengusut mahar politik.
"Tapi ketika sudah ditetapkan menjadi peserta pilkada dan dia menyogok, itu masuk kategori politik uang. Mahar tidak diatur undang-undang," ucapnya.
Selama ini terdapat lebih banyak figur yang membantah adanya mahar daripada yang mengakui terjadinya pertukaran uang dan dukungan politik itu.
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, misalnya, mengklaim tidak memberikan mahar satu rupiah pun kepada partai pengusungnya.
"Tidak ada mahar. Duit dari mana saya?" kata Anies.
Namun Direktur Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia, Sebastian Salang, mengaku pernah gagal menjadi peserta Pilkada Manggarai di Nusa Tenggara Timur tahun 2015 karena tak mampu membayar mahar yang diminta partai.
"Dalam proses lobi dukungan kursi di DPRD muncul angka yang jumlahnya menurut saya fantastis untuk daerah setingkat kabupaten, antara Rp1-3 miliar," ujarnya kepada BBC Indonesia.
Sebastian mengkritik Bawaslu yang menurutnya tidak serius menindak praktik mahar dalam perhelatan politik dan mengharapkan Bawaslu perlu membuat strategi khusus untuk membongkar persoalan itu.
"Bawaslu mungkin bisa membuka pusat pengaduan bagi orang-orang yang merasa dirugikan partai karena sudah membayar mahar tapi tidak dicalonkan," tuturnya.
Sumber:BBCindonesia.com