Kita Butuh Ustad, Bukan Penghujat
"Serulah manusia ke jalan Tuhanmu dengan hikmah & pelajaran yang baik. Dan bantahlah mereka dengan cara yang baik." (Q.S: An Nahl-125).
Baru-baru ini, seorang teman facebook, men-share sebuah video berdurasi tujuh (7) menit tentang ceramah agama seorang pria.
Tajuk ceramah: larangan merayakan ulang tahun dengan memakai topi ulang tahun dan meniup lilin. Karena kata si Penceramah cara itu budaya kaum Majusi.
Aku setuju. Karena sejak kecil aku dididik tentang aqidah di lingkungan Muhammdiyah. Jadi, sedikit-banyak aku faham soal hal-hal yang bertentangan dengan ajaran Muhammad, saw.
Ayahku juga mantan Ketua Muhammadiyah Cabang Batangtoru. (Batangtoru, sebuah kota kecamatan paling utara di wilayah Tapanuli Selatan).
Tetapi, setelah saya simak saksama metode penyampaian ceramah itu, aku jadi ikut tertawa. Penceramah, tampak memengaruhi audiens dengan melawak.
Yang membuat saya geli adalah dasar lawakannya meski terjebak mengejek suku Batak dan dua (2) marga. Tetapi itulah ciri khas dia.
Mungkin, dia menduga semua orang Batak itu Non-Muslim. Tetapi kurasa dia tidak bermaksud mengejek.
Apalagi menghina. Dan, jika pun dia mengejek Non-Muslim, apa pentingnya bagi dia melakukan itu.
Syah saja. Di Facebook video itu menjadi bahan cemooh orang-orang Non Muslim. Cemooh yang di alamatkan ke video itu menurutku sudah keterlaluan juga.
Tetapi, mau bilang apa lagi. Bukankah itu risiko seorang Penceramah? Kadang kita merasa sedang "mengajak". Nyatanya, kita justru mengejek.
Aku kira, si Penceramah ini orang sangat cerdas. Plus dia memakai metode untuk menarik simpati pendengar tentang ceramahnya.
Akhirnya, ia mencoba syi'arnya dengan memakai metode lawakan. Sehingga pendengar merasa senang dan syi'arnya kesampaian.
Sebagai seorang Muslim berdarah Batak, Aku sebenarnya sangat tersinggung dengan si Penceramah. Tetapi, saya diamkan saja.
Aku merasa isi ceramahnya jauh lebih penting dari asfek ejekan yang tidak dia sengaja.
Tetapi, beberapa saat kemudian, ketika ada seorang Ustad yang ditolak dan didemo di suatu daerah untuk berceramah, saya jadi teringat video itu.
Tentu, penolakan pasti punya akar dan dalih. Sebab, Ustad itu artinya guru. Guru untuk digugu (ditiru). Ditauladani. Terlepas apa agamanya. Dan, dimana dia mendidik.
Terlebih buat masyarakat bangsa ini yang tengah butuh figur pendidik sejati. Siraman rohani yang mencerahkan, menyejukkan jiwa, sangat langka. Kita butuh Ustad. Bukan Penghujat.
Ustad Abdul Somad contohnya. Figur penceramah yang kocak dan disenangi banyak kalangan. Dia punya metode yang khas.
Toh, sebagian kita memang lebih menggandrungi para penghujat. Dan trendy ini begitu fanatiknya. Mereka siap mati membela idolanya, tanpa chek and rechek ke akar masalah.
Padahal, setiap penganut agama, agar dia faham dengan agama yang dianutnya, diwajibkan belajar pada sumber utama agama itu: kitab suci-nya. Ini yang jarang kita lakukan.
Sepanjang analisis saya sebagai awam, media massa yang seyogianya tampil sebagai Peace Journalism dan pilar kebenaran, kurang berperan.
Media massa condong terbirokrasi dan hanyut dalam blok-blok memihaki para pihak bertikai. Larut dan terjustifikasi menjadi bagian dari distorsi itu sendiri.
Padahal, sesuai amanah kode etik jurnalistik, yang diadopsi dari kitab suci itu, media mesti tampil sebagai penyuplai informasi yang jujur ke publik.
Itu artinya, wartawan mesti menggali akar masalah sebelum melempar informasinya ke khalayak.
Untuk itu, media massa yang secara kuantitas menjamur di tanah air, akan kurang efektif, tanpa dikembalikan pada fungsinya yang hakiki: penyuara kebenaran.
Wahai para jurnalis sejati, menulislah yang mendamaikan. Menulislah atas nama kebenaran. Jangan ikut/larut dalam arus deras pertikaian dan hujatan.
Jika penamu menggores kebenaran, langit akan melindungimu. Percayalah!***