Lima Fakta Defisit BPJS Kesehatan dan Ada Rencana Delapan Penyakit Tidak Ditanggung
Jakarta - Masalah ketimpangan pengeluaran dan penerimaan dana Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS) masih terus terjadi. Selisih antara masuknya iuran dengan besarnya klaim pelayanan kesehatan yang harus dikeluarkan masih tergolong besar.
Direktur Kepatuhan Hukum dan Hubungan antar Lembaga Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan Bayu Wahyudi memperkirakan pihaknya masih akan mengalami defisit (missmatch) sebesar Rp 9 triliun tahun ini.
"Dari perhitungan, prediksinya Rp 9 triliun (missmatch). Missmatch itu tidak sesuai antara pengeluaran dan pemasukan didapat dari iuran," ujar Bayu.
Bayu mengatakan, defisit terjadi karena banyaknya pembayaran iuran tidak dibayarkan sesuai dengan nominal yang ditetapkan. Contohnya, untuk penerima bantuan iuran (PBI) seharusnya membayar sebesar Rp 36.000, namun hanya membayar Rp 23.000, sudah selisih Rp 13.000.
Defisit BPJS kesehatan juga dipengaruhi oleh banyaknya pasien mengalami penyakit katastropik yang harus ditangani. Setidaknya, ada 30 persen penyakit katastropik harus dibiayai menggunakan BPJS.
"Penyakit katastropik yang dibayar BPJS itu hampir 30 persen, jadi menyedot uang itu. Penyakit katastropik termasuk hypertensi, jantung, kanker, leukimia, gagal ginjal stroke dan sebagainya," jelasnya.
Bayu menambahkan missmatch antara penerimaan dan pengeluaran tersebut sebenarnya dapat ditutupi menggunakan pembiayaan dari surat utang negara (SUN) maupun pembiayaan lain seperti dari APBN.
"Bisa (menggunakan SUN), jadi banyak sebenarnya ada beberapa (alternatif pembiayaan). Salah satunya adalah dengan pemberian pemerintah, tapi kan kita bisa memaklumi pemerintah dalam keadaan APBN pun kurang," kata Bayu.
Berikut fakta tersebut:
1. Akibat defisit, sejumlah penyakit disebut tak lagi ditanggung
Defisit anggaran BPJS Kesehatan diperkirakan mencapai hingga Rp 9 triliun tahun ini. Kasus defisit ini pun membuat BPJS berencana untuk tak lagi menanggung beberapa jenis penyakit katastropik.
Penyakit tersebut ialah jantung, gagal ginjal, kanker, stroke, sirosis hati, thalassemia, leukimia, dan hemofilia.
Kepala Humas BPJS Kesehatan Nopi Hidayat menegaskan BPJS masih menanggung pengobatan untuk biaya delapan penyakit tersebut sesuai dengan regulasi pemerintah.
Menurut Nopi, saat era Askes dulu, pemerintah memberikan dana subsidi bagi penyakit-penyakit katastropik. Pemberian dana tersebut dilakukan sejak tahun 2004 sampai dengan tahun 2013.
"Sejak PT Askes (Persero) bertransformasi menjadi BPJS Kesehatan pada 2014 lalu sampai sekarang, belum ada regulasi tentang subsidi pemerintah untuk penyakit katastropik. Padahal dulu ada subsidi. Saat ini hal tersebut tengah diusulkan untuk revisi Perpres," jelas Nopi.
Dia pun menegaskan bahwa sampai dengan saat ini, BPJS Kesehatan tetap menjamin ke-8 penyakit tersebut sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh regulasi pemerintah.
"Jadi masyarakat tak perlu khawatir. Selama peserta JKN-KIS mengikuti prosedur dan ketentuan, maka kami akan jamin biayanya sesuai dengan ketentuan yang berlaku," ungkapnya.
2. Banyaknya tanggungan membuat defisit BPJS besar
Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, mengatakan banyaknya jenis pengobatan yang ditanggung oleh BPJS kesehatan telah berdampak pada membengkaknya tagihan. "Berbagai macam apa yang disebut coveragenya yang semakin banyak memang berimplikasi pada jumlah tagihan yang meningkat," jelasnya.
Menteri Sri Mulyani menambahkan pemerintah tetap akan mengupayakan agar masyarakat mendapat pelayanan optimal. "Secara singkat kita akan melakukan review dan terus memberikan jaminan bahawa BPJS tidak boleh menjadi satu isu atau kendala bagi masyarakat mendapat kesehatan secara baik," tandasnya.
3. Dana hasil cukai akan digunakan tambal defisit
Direktur Utama BPJS Kesehatan, Fachmi Idris menjelaskan, salah satu solusi yang ditawarkan pemerintah adalah menyuntik dana ke BPJS Kesehatan dari bagi hasil atas cukai rokok serta efisiensi operasional BPJS ke depannya. Suntikan dana ini telah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 87 Tahun 2013 tentang Pengelolaan Aset Jaminan Sosial Kesehatan.
"Untuk mengatasi defisit Ibu Menko (Puan Maharani) katakan dengan menggunakan pajak atas cukai rokok atau dana bagi hasil. Kemudian opsi lain cost sharing," kata Fachmi.
Selain dari cukai rokok dan bantuan dari pemerintah daerah, BPJS Ketenagakerjaan juga turut dilibatkan untuk mengatasi defisit dengan ikut mengindentifikasi dan menanggung klaim para pekerja yang ikut menjadi tanggungan-nya apabila terjadi masalah kesehatan imbas dari risiko pekerjaan yang dialami.
Selain itu, Fachmi menyebut bahwa Menteri Keuangan Sri Mulyani juga meminta BPJS Kesehatan untuk melakukan efisiensi pengeluaran.
4. Meski defisit, bos BPJS Kesehatan pastikan tak ada kenaikan iuran
Kepala Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan Fahmi Idris memastikan, tidak ada kenaikan iuran BPJS Kesehatan. Meskipun terdapat indikasi defisit anggaran BPJS Kesehatan.
"Tidak ada opsi kenaikan iuran BPJS Kesehatan," katanya.
Untuk mengatasi defisit anggaran BPJS Kesehatan, akan ada sembilan langkah yang akan diambil. Di antaranya menggunakan uang dari bea cukai rokok dan co sharing. "Ini sudah dibahas dalam rapat koordinasi dengan ibu Menko PMK dan ibu Menkeu," jelas Fahmi.
5. Fraud dituding jadi penyebab defisit sulit hilang
Wakil Ketua Komisi IX DPR Saleh Daulay menilai, defisit yang melanda BPJS Kesehatan memiliki banyak faktor. Menurutnya, salah satu penyebab defisit itu adalah masih adanya fraud dalam pelayanan kesehatan. Ada banyak pembengkakan pembayaran akibat adanya fraud tersebut.
"Semestinya, BPJS itu hanya membayar sedikit, karena fraud akhirnya bayarnya banyak. Fraud ini dilakukan oleh banyak pihak, mulai dari petugas BPJS, petugas medis, pihak rumah sakit, bahkan juga oleh masyarakat. Ini yang mesti diselesaikan oleh BPJS terlebih dahulu," katanya.
Selain itu, persoalan pendataan juga memberikan kontribusi. Sejauh ini, pendataan kepesertaan BPJS Kesehatan dinilai masih carut-marut. Terutama, pendataan kepesertaan penerimaan bantuan iuran (PBI). Ada banyak peserta yang tercatat, tetapi orangnya tidak ada.
Selain itu, faktor lain yang menyebabkan defisit adalah tidak seimbangnya antara cakupan pelayanan yang harus disediakan oleh BPJS dengan nilai iuran yang menjadi kewajiban peserta.
Sumber:Merdeka.com