Korea Selatan - Penyintas kasus kekerasan pasca 1965, Bedjo Untung, meraih anugerah hak asasi manusia dari Truth Foundation yang berbasis di Korea Selatan, akhir Juni lalu.
Mantan tahanan politik era Orde Baru itu mendapatkan penghargaan saat pemerintah 'tak kunjung menyelesaikan kasus 1965 yang dikategorikan Komnas HAM sebagai pelanggaran HAM berat masa lalu'.
Penghargaan yang diterima Bedjo tersebut tak hanya didasarkan pada penyiksaan dan pemenjaraan tanpa dasar hukum yang dialaminya usai Peristiwa 1965.
Merujuk keterangan tertulis Truth Foundation, peran Bedjo mendirikan Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan (YPKP) 1965/1966 turut menjadi dasar penilaian.
"Kami memperhatikan YPKP 1965/1966, karena keberadaan organisasi ini membuat para korban Peristiwa 1965 memiliki ruang mengutarakan aspirasi mereka," tulis Truth Foundation soal anugerah untuk Bedjo.
"Kami menyampaikan rasa hormat dan solidaritas untuk para penyintas 1965, termasuk Bedjo Untung yang berupaya menyadarkan publik bahwa kemanusiaan lebih kuat dibandingkan kekerasan," tulis mereka lagi.
Secara terpisah, Bedjo Untung menyebut penghargaan itu sebagai penghormataan yang luar biasa baginya. Namun menurutnya, rekan-rekannya sesama penyintas Peristiwa 1965 di berbagai daerahlah yang pantas menerima anugerah HAM dari Truth Foundation tersebut.
"Merekalah yang turun langsung ke lapangan, keluar masuk hutan untuk meneliti kuburan massal," ujar Bedjo di kantor YLBHI, Jakarta, Rabu (5/7), seperti dilaporkan wartawan BBC Indonesia, Abraham Utama.
Secara khusus Bedjo juga menyebut nama sejumlah tahanan politik era Orde Baru sebagai sosok yang pantas menerima penghargaan itu, dua di antaranya adalah Pramoedya Ananta Toer dan Koesalah Soebagyo Toer.
'Penguat untuk korban'
Bedjo menilai anugerah HAM yang diterimanya sebagai dukungan moral bagi para penyintas Peristiwa 1965. Ia berkata, dukungan antara korban pelanggaran HAM di berbagai negara sebagai modal penting menuntaskan kasus-kasus HAM masa lalu.
"Artinya korban 1965 mendapatkan solidaritas. Ini adalah penguat bagi kami. Semangat kami akan semakin berkobar," ujarnya.
Penghargaan ini juga penting karena kami selama ini tidak diperhatikan pemerintah, bahkan kami hendak dilupakan. Ini memotivasi kami untuk melanjutkan tuntutan karena korban pelanggaran HAM di Korsel bisa menang. Inspirasi mereka akan kami gunakan," ucapnya.
Tak hanya piagam, Bedjo juga memperoleh hibah sebesar US$10 ribu. Bedjo berjanji menggunakan dana itu untuk penelitian dan diskusi pelusuran sejarah. "Hibah ini bukan untuk saya secara pribadi," tuturnya.
Tanggapan aktivis
Anggota Komite Pengarah International People's Tribunal 1965, Dolorosa Sinaga mengatakan, penghargaan yang diterima Bedjo membuktikan pelanggaran HAM yang terjadi pada Peristiwa 1965 tidak hanya berskala nasional.
Menurut Dolorosa, Truth Foundation mengafirmasi kajian akademik tentang Peristiwa 1965, seperti fakta-fakta yang muncul pada sidang IPT di Den Haag, Belanda, pada 2015.
"Harus ada konsesus besar untuk melawan ketidakadilan terhadap kemanusiaan. Perlu semangat yang sama. Inilah arti penting penghargaan untuk Pak Bedjo itu," kata Dolorosa.
Upaya penyelesaian berhenti'
Dihubungi terpisah, Ketua Pelaksana Simposium 1965 Agus Widjojo menyebut saat ini pemerintah belum mengambil langkah konkret untuk menuntaskan kasus 1965. Ia berkata, di sisi lain korban dan para pelaku pelanggaran HAM juga belum menemukan kesepahaman
Simposium belum berlanjut sampai kita yakin syarat rekonsiliasi bisa dipenuhi masyarakat Indonesia. Itu perlu pembelajaran luar biasa dan butuh waktu," ucap Agus kepada BBC Indonesia.
"Perlu kesukarelaan untuk mencapai titik tengah agar masing-masing pihak tidak menuntut hal yang bersifat absolut, hitam-putih atau menang-kalah. Ini ditandai adanya dua simposium," ujarnya lagi.
Agus menyebut Menko Polhukam Wiranto sempat mewacanakan pembentukan Dewan Kerukunan Nasional sebagai wadah penyelesaian kasus HAM. Namun Agus yang kini berstatus Gubernur Lemhanas itu ragu lembaga itu dapat menjadi penutas konflik masa lalu.
Dewan kerukunan nasional masih dalam proses dan tidak mengandung kaidah rekonsiliasi, hanya di atas permukaan yang bersifat artifisial. Dewan itu juga hanya untuk kejadian yang terjadi sekarang ke masa depan," katanya.
Agus menambahkan, Presiden Joko Widodo sampai saat ini belum menyetujui pendirian dewan kerukunan nasional tersebut. "Masih dalam proses," ujarnya.
Latar belakang Truth Foundation
Truth Foundation didirikan tahun 2009 oleh sejumlah korban penyiksaan dan pemenjaraan yang dituduh menjadi mata-mata untuk Korea Utara.
Peristiwa itu terjadi pada rezim Presiden Pak Chung-hee dan Presiden Chun Doo-hwan yang disebut memanipulasi ketakutan atas komunisme sebagai legatimasi untuk menekan masyarakat.
Mayoritas korban itu adalah nelayan yang mencari ikan di perbatasan. Mereka diculik aparatus pemerintah Korsel lalu disiksa dalam tahanan agar mengaku sebagai mata-mata Korut.
Belakangan, para korban itu mendonasikan uang reparasi atas kejahatan HAM yang mereka terima untuk pendirian Truth Foundation.
Lima dari enam penerima anugerah hak asasi manusia dari Truth Foundation sebelumnya berasal dari Korsel, sementara satu sisanya adalah U Win Tin yang bersama Aung San Suu Kyi mendirikan Liga Nasional untuk Demokrasi di Myanmar.(bbc)