Pennsylvania — Seorang diaspora Muslim Indonesia di kota Erie negara bagian Pennsylvania aktif melawan Islamofobia di Amerika dengan memimpin berbagai diskusi lintas agama.
“Yang bisa mengalahkan Islamofobia hanyainterpersonal relationship.”
Itulah kiprah Niken Astari yang membangun dan membangun kerukunan antar umat beragama, dimulai dari lingkungan di sekitarnya di kota Erie, negara bagian Pennsylvania yang sudah ditinggalinya sejak tahun 2010.
Lulusan Pennsylvania State University ini lantas ikut menggagas One Table, gerakan yang bertujuan untuk menjembatani komunitas yang berasal dari berbagai latar belakang budaya dan agama.
Sejak didirikan tiga tahun lalu, kini One Table memiliki lebih dari 75 anggota, termasuk para pemuka agama dan pemimpin komunitas.
Niken, orang Indonesia satu-satunya dalam gerakan ini, berperan sebagai juru bicara dan ikut aktif menyusun berbagai kegiatan, terutama selama bulan Ramadan ini.
“Mumpung Ramadan, kami member One Table yang beragama Islam, terutama berusaha memperkenalkan Ramadan dengan mengajak komunitas-komunitas di Erie buka puasa bersama. Yang menyediakan makanan adalah Turkish Cultural Center di Erie. Direkturnya, Bunyamin Aysan, adalah anggota One Table. Sejauh ini ada delapan tempat yang kita datangi,” kata Niken.
Tempat-tempat itu termasuk Gereja ‘First Presbyterian Church of the Covenant’, Masjie Erie, Gereja ‘Wayside Presbyterian Church’, kuil Yahudi ‘Temple Anshe Hesed’ dan Turkish Cultural Center. Di sebagian tempat, Niken ditunjuk untuk memimpin diskusi lintas agama yang dihadiri puluhan warga Erie dari berbagai latar belakang.
“Saya mengisi acaranya, mungkin kalau di Indonesia semacam kultum kali ya, sambil menunggu buka puasa, diminta presentasi tentang Ramadan selama 5-7 menit,” lanjutnya.
Meskipun singkat, tapi dampaknya besar dan bisa membuka wawasan para peserta yang sebagian besar non-Muslim, ujar perempuan asal Surabaya, Jawa Timur ini.
“Misalnya tentang buka bersama, sahur bareng, tarawih. Kebanyakan orang disini tidak tahu kalau puasa di Indonesia dan Amerika berbeda. Di Indonesia 12-13 jam. Disini summer, jadi 16-17 jam, waktu antara matahari terbit dan tenggelam sangat panjang. Mereka terkejut sekali. Oh jadi berbeda ya setiap negara. Saya harus jelaskan kenapa berbeda. Kalau di kutub utara yang tidak ada matahari atau kalau matahari terbit selama 24 jam bagaimana,” jelas Niken.
Perempuan 37 tahun ini berharap, diskusi semacam ini bisa membantu memperkuat kerukunan antar umat beragama dan menghapuskan Islamofobia.
“Ketika mereka tahu siapa kita, bahwa kita adalah pemeluk agama Islam, bisa membuat mereka menyadari bahwa cerita-cerita yang ada di TV, yang ada di koran tentang Islam yang teroris, itu tidak benar,” imbuhnya.
Dan upaya itu akan terus dilakoninya dengan terjun langsung dalam masyarakat. Selain aktif dalam kegiatan lintas agama, mantan hakim di Indonesia ini juga aktif memberdayakan perempuan dan imigran di kotanya.
Dia ikut memimpin aksi Women’s March di Erie akhir tahun lalu dan baru-baru ini terpilih sebagai Presiden organisasi ‘American Association of University Women’ cabang Erie untuk masa jabatan 2018-2019. (voaindonesia.com)