Jakarta - Ketua Majelis Hakim Dwiarso Budi Santiarto membacakan vonis terhadap Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaj Purnama atau Ahok di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Auditorium Kementerian Pertanian, Jalan Harsono RM, Ragunan, Jakarta Selatan.
Ahok didakwa telah menyatakan perasaan permusuhan, kebencian, atau penghinaan terhadap suatu atau beberapa golongan rakyat Indonesia oleh jaksa penuntut umum.
Setelah menimbang atas barang 117 macam barang bukti, keterangan saksi pelapor, saksi ahli dari pelapor dan terlapor, dan keterangan terdakwa, majelis hakim memutuskan bahwa Ahok terbukti bersalah.
Berbeda dengan pendapat jaksa penuntut umum (JPU), Ahok dijerat dengan Pasal 156a tetang penodaan agama.
"Ini murni perkara pidana dan terbukti menodai agama. Majelis hakim menilai terdakwa harus mempertanggung jawabkan perbuatannya dan harus dinyatakan bersalah” ujar salah satu majelis hakim, Selasa, 9 Mei 2017.
Majelis hakim menolak pembelaan terhadap Ahok atau pun tim kuasa hukumnya. Menurut majelis hakim, pembelaan Ahok yang mengatakan menyitir ayat suci Al-Quran tersebut karena adanya ketidakadilan justru dibantah.
Beradasarkan fakta yang ada, majelis hakim justru menilai terdakwa sendiri yang menimbulkan kegaduhan atas pidatonya. Menurut majelis hakim, sebagai seorang gubernur seharusnya terdakwa bisa bersikap jujur, bersh, sopan, dan santun.
"Kami menyatakan Basuki terbukti secara sah meyakinkan melakukan penodaan agama. Menjatuhkan penjara pidana selama dua tahun. Barang bukti yang diajukan oleh penasehat hukum seluruhnya diampirkan dan membayar erkara sebesar Rp5000,” ujar Dwiarso.
Pembacaan vonis Ahok dipimpin oleh Dwiarso Budi Santiarto, serta didampingi hakim anggota, yaitu Jupriyadi, Abdul Rosyad, Didik Wuryanto, dan I Wayan Wirjana. Sementara, jaksa penuntut umum dipimpin oleh Ali Mukartono.
Adapun jaksa penuntut umum didampingi oleh Reky Sonny Eddy Lumentut, Lila Agustina, Bambang Surya Irawan, J Devi Sudarsono, Lalu Sapto Subrata, Bambang Sindhu Pramana, Ardito Muwardi, Deddy Sunanda, Suwanda, Andri Wiranofa, Diky Oktavia, dan Fedrik Adhar.
Kasus Ahok bermula dari sebuah potongan video pidatonya di Kepulauan Seribu pada September tahun lalu tersebar di dunia maya.
Ahok berkunjung ke Kepulauan Seribu untuk mensosialisasikan program budi daya ikan kerapu.
Namun, lidah Ahok terselip saat tengah berpidato dengan menyitir ayat Al-Qur’an surat Al-Maidah ayat 51.
Dari 40 menit durasi pidato Ahok, potongan video sepanjang 13 detik ini kemudian diperdebatkan.
“Jadi jangan percaya sama orang, kan bisa saja dalam hati kecil bapak ibu, enggak bisa pilih saya, ya — dibohongin pake surat Al Maidah surat 51 macam-macam gitu lho. Itu hak bapak ibu. Ya. Jadi kalo bapak ibu, perasaan, enggak bisa pilih nih, karena saya takut masuk neraka, dibodohin gitu ya, enggak apa-apa. Karena ini kan panggilan pribadi bapak ibu. Program ini jalan saja. Ya jadi bapak ibu enggak usah merasa enggak enak, dalam nuraninya enggak bisa pilih Ahok. Enggak suka ama Ahok. Tapi programnya, gue kalo terima, gue enggak enak dong ama dia, gue utang budi. Jangan. Kalau bapak ibu punya perasaan enggak enak, nanti mati pelan-pelan lho kena stroke,” ujar Ahok.
Atas tindakannya, Ahok didakwa dengan pasal berlapis yakni pasal 156a atau pasal 156 KUHP.
Namun jaksa menilai Ahok terbukti dalam dakwaan alternatif kedua, yakni menghina golongan tertentu.
Ia diancam dengan pidana penjara paling lama 4 tahun atau pidana denda paling banyak Rp 4.500.
Jaksa menuntut agar Ahok dipidana penjara selama 1 tahun dengan masa percobaan selama 2 tahun. (tempo.co).