"Pada dasarnya, uang identik dengan senjata. Poltik hanya sebagai pemicunya…" (Mario Fuzo, The God Father, III)
MANAKALA Rusli Zainal, berhasil memutus "dinasti" militer dari kursi Gubernur Riau, 15 tahun silam, jagat politik nasional, seperti bergetar. Premis yang dikeramatkan secara turun temurun—bahwa Riau itu “rawan” dan harus dipimpin seorang militer—gugur sudah.
Inilah prosesi politik yang memakan waktu lama. Tetapi cermat dan terencana. Sang Maestro Politik ini, butuh waktu sekitar 18 tahun untuk mempersiapkan diri. Paling tidak, dilihat dari titik awal catatan buram politik regional pada Pilgubri, 2 September 1985 yang populer dengan "Noda Demokrasi".
Kala itu, Ismail Suko, putra terbaik Riau asal Pasir Pengaraian itu, berhasil memenangi Pilgubri. Sayangnya, yang menduduki kursi Gubernur Riau, tetap saja seorang Jenderal Angkatan Darat: Imam Munandar. Sang Jenderal meraup17 suara, Ismail Suko meraih 19 suara dan H. Abd. Rahman memeroleh 1 suara.
Toh, kekalahan 2 suara dari Ismail Suko sudah cukup mengukuhkan Imam di kursi Gubernur Riau. Trik politik Orde Baru memang sering mengedepankan: Law of The Junggle. Kekuatan senjata, dalam arti sesungguhnya.
Sewindu berikutnya, politik regional kembali bergejolak. Ir. Firdaus Malik, salah seorang putra terbaik Riau asal Kuantan tampil menghadapi Letjend. Soeripto, sebagai calon unggulan di pentas Pilgubri 1993. Kendati, kemudian Firdaus takluk, sejarah mencatat tekadnya sebagai perjuangan supremasi sipil. Pengemban aspirasi putra daerah.
Perlawanan terhadap otoritas militer di kursi Gubernur Riau kembali bergejolak saat Firdaus Malik tampil kedua kalinya di arena yang sama. Kali ini, yang dihadapinya di Pilgubri tanggal 28 Oktober 1998 justru Brigjend. (CKH) Saleh Djasit. Saleh, putra terbaik Riau asal Desa Pujud, Bengkalis, mantan Bupati Kampar.
Pertarungan yang menarik. Putra Daerah Vs Putra Daerah. Anak Bengkalis kontra Anak Kuantan. Mantan Wakil Gubernur Riau melawan Mantan Bupati Kampar. Firdaus maju dengan perahu Golkar yang mengantongi suara dominan di DPRD Riau. Saleh tampil lewat Fraksi TNI-Polri yang hanya memiliki kekuatan 6 suara.
Hasilnya? Sejarah suksesi adalah sejarah pengkhianatan. Pemerhati politik kala itu skeptis bahwa Firdaus kembali jadi tumbal konspirasi poltik sejumlah wakil rakyat dari Partai Beringin. Tragis! Kepedihan politik bagi Firdaus adalah pesta sukacita bagi Saleh Djasit yang berhasil memenangi Pilgubri.
Dinasti militer di kursi Gubernur Riau, kembali diperpanjang Saleh Djasit, dngan mencatatkan namanya di belakang Gubernur Riau "berbaju hijau": Kaharuddin Nasution, Soebrantas, Arifin Achmad, Imam Munandar dan Soeripto. Keberhasilan Saleh menggenapi setengah lusin para penenteng "senjata"di kursi Gubernur Riau.
Tetapi, dalam dunia politik selalu berlaku motto: “Tidak ada kawan dan lawan yang abadi. Yang abadi hanya kepentingan”. Sebagai anggota DPRD Riau dari Fraksi Golkar kala itu, Rusli Zainal, disebut-sebut sosok yang paling berperan "mengatur" kemenangan bagi Saleh Djasit di Pilgubri 1998 itu.
Sukses menyutradarai trik politik di Pilgubri, Rusli melangkah mulus ke kursi Bupati Indragiri Hilir. Saleh Djasit, kemudian melantik Rusli sebagai Bupati Indragiri Hilir, 14 April 1999. Bagi Rusli, ternyata jabatan ini hanya sekadar persinggahan. Target berikutnya, kursi Gubenrur Riau.
Lantas, apa yang terjadi di Pilgubri tahun 2003 itu? Ambisi Saleh Djasit memperpanjang jabatannnya di kursi Gubernur Riau itu, berhasil digagalkan Rusli Zainal. Saleh yang tampil dengan kekuatan penuh via Fraksi Golkar, justru takluk di tangan Rusli yang didukung Fraksi PPP. Politik memang aneh.
Namun, jika diamati saksama, keberhasil Rusli Zainal memutus dinasti militer dari kursi Gubernur Riau adalah jawaban atas perjuangan mertuanya, Ismail Suko pada Peristiwa 2 September itu. Ismail Suko yang berhasil memenangi Pilgubri tahun 1985, baru dilantik menjadi Gubernur Riau di tahun 2003, lewat menantunya, Rusli Zainal.
Catatan politik memang tidak selalu linier. Pilgubri 1998, Firdaus Malik merasa dikhianati Partai Golkar. Di Pilgubri 2003, giliran Saleh Djasit meradang di bawah rerimbunan Beringin. Tapi, perjalanan politiknya kembali bersinar. Saleh Djasit, berhasil menduduki kursi DPR-RI utusan Golkar, pasca kekalahannya dari Rusli Zainal.
Ironisnya, KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) lah, kemudian yang menghentikan karier politiknya atas dugaan korupsi kasus pembelian Mobil Damkar (Pemadam Kebakaran). Proses korupsi itu terjadi, saat dia masih menjabat Gubernur Riau. Saleh Djasit adalah Gubernur Riau pertama peraih gelar terpidana korupsi.
Firdaus Malik sendiri, meninggal dunia saat Rusli Zainal berada di puncak kejayaannya sebagai Gubernur Riau. "Pak Fir, tidak memiliki retak tangan jadi Gubernur, meski beliau dua kali mencalonkan diri di Pilgubri". Inilah potongan ucapan satir Rusli Zainal di surat kabar lokal, atas meninggalnya Firdaus Malik.
Rusli memang luar biasa. Ia mampu membuktikan, uang identik dengan senjata. Debut pembangunan fisik berlari kencang memoles Kota Pekanbaru dengan gedung-gedung serba "wah". Kepiawaiannya berkiprah di pentas multiregional adalah eskalasi reputasinya sebagai pemimpin sipil Riau pertama. Rusli sukses. Kusuksesan itu menyematkan gelar: "Datuk Setia Amanah" di dadanya.
Modal gelar itu pula tampaknya yang menjadi tiket bagi rakyat Riau untuk mengukuhkannya di periode kedua saat Pilgubri tahun 2008. Rusli adalah Gubernur Riau pertama yang dipilih langsung oleh rakyat. Sayang, amanah rakyat itu ternoda enam bulan menjelang jabatannya berakhir.
Konstelasi politik nasional kembali bergetar. Kali ini bukan atas prestasi, justru keterlibatannya atas dugaan korupsi Proyek PON XVIII. Tanggal 14 Juni 2013, Rusli Zainal ditahan KPK. Awan hitam, kian menebal di langit politik Riau, kala segelintir anggota DPRD Riau turut terseret dalam kasus berkapsitas anggaran raksasa ini.
Persis 21 hari sebelum ulang tahunnya ke-56 karier politiknya padam sudah. Tangal 12 November 2013, Presiden RI Soesilo Bambang Yudhoyono, secara resmi memberhentikan Rusli Zainal dari jabatan Gubernur Riau. Pilgubri berikutnya, 2013 rakyat Riau mengamanahi Anas Maamun menduduki kursi Gubernur Riau.
Lebih tragis lagi, ternyata. Gubernur yang acap: "menyembelih lehernya dengan lidahnya"ini, hanya berkuasa sekitar 7 bulan. Masa kekuasaan yang menyamai sisa tenggang waktu jabatan Rusli Zainal ketika ditangkap KPK. Anas Maamun dilantik jadi Gubernur Riau 19 Februari 2014. Kemudian ditangkap KPK tangal 25 Seftember 2015 di Jakarta. Anas terjerat Operasi Tangkap Tangan (OTT) saat transaksi suap untuk memuluskan perizinan usaha perkebunan.
Hari ini, perhatian sebagain besar rakyat Riau tengah tertuju pada suskesi kepemimpinan Riau. Rencana Pilgubri bulan Juni depan, telah mengkristalkan empat Pasang Calon (Paslon) yang akan bertarung merebut kursi Gubernur Riau. Figur ke-empat Paslon ini, secara umum, telah dikenali rakyat. Tinggal menimbang-nimbang Paslon, mana kelak yang akan dipilih.
Bagi Paslon, setuju atau tidak, kekuatan uang pengganti senjata, akan kembali berperan sebagai amunisi dalam prosesi pertempuran. Namun, kasus dua Gubernur Riau terdahulu, layak juga dijadikan pedoman. Sebab, di era supremasi penegakan hukum kini, program penggunaan "senjata"berupa dana dan anggaran tidak selamanya dilegitimasi udang-undang.
Artinya, dalam sistem pemerintahan yang tidak sempurna, kebijakan pemimpin menjadi harga mati. Agaknya mengutip nasehat manis Jason Sthatam, dalam Film The Blitz kedengaran lebih arif: If You are picking the wrong fight, at least pick the right weapon. (Jika Anda berada dalam sistem yang salah, setidaknya, Anda menggenggam senjata yang benar).
Bertempur habis-habisan dengan kekuatan pasukan penuh. Amunisi yang cukup dan senjata supercanggih berikut strategi perang yang jitu. Anda akan berpeluang memenangi Pilgubri. Tetapi, jika akhirnya Anda berkantor di penjara, berarti rakyat Riau terluka untuk ketiga kalinya. Oleh pemimpinnya.
Penulis: Drs, Wahyudi El Panggabean, MH. (Direktur Pekanbaru Journalist Center).
Tulisan ini telah dimuat di www.pjcnews.com