Pekanbaru - Pembalakan liar makin mengancam kelestarian Cagar Alam Bukit Bungkuk di Provinsi Riau, kata seorang pejabat lokal.
"Tim kami menemukan aktivitas pembalakan liar dan langsung melakukan penertiban," kata Kepala Bidang Teknis Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Riau Vivien Herlin di Pekanbaru, Rabu.
Tim BBKSDA Riau melihat lokasi pembalakan liar di kawasan konservasi itu pada Selasa (19/9) dikutip dari Antarariau.com
Satu gubuk kayu didirikan oleh perambah tidak jauh di tepi sungai. Tumpukan kayu olahan berbentuk papan berada di sekitar gubuk, dan dua rakit dari kayu gelondongan disembunyikan d isungai.
Namun, kedatangan tim BBKSDA Riau sepertinya sudah diketahui oleh perambah karena gubuk terlihat kosong.
"Gubuk itu akhirnya kita bakar," kata Vivien.
Secara administrasi pemerintahan, Cagar Alam Bukit Bungkuk terletak di Tanjung Alai, Kecamatan XIII Koto Kampar, Bangkinang Barat, Kabupaten Kampar, Riau.
Pemerintah menetapkan daerah itu sebagai cagar alam sejak 6 Juni 1986 dengan luas 20 ribu hektare.
Pemanfaatan dan penjagaan cagar alam merupakan tanggung jawab pemerintah, dalam hal ini BBKSDA Riau.
"Cagar alam hanya boleh untuk penelitian, tidak boleh untuk penebangan pohon," ujar Vivien.
Ia menjelaskan kawasan itu memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi untuk kelangsungan hidup manusia juga.
Pada pekan lalu, pihaknya telah menemukan dua bunga bangkai (amorphopallus gigas) yang memiliki panjang 3,30 meter dan 4,20 meter dan juga diklaim sebagai bunga bangkai yang tertinggi.
"Kawasan itu juga penting untuk menjamin air bersih," katanya.
Ia mengakui bahwa BBKSDA Riau sangat kesulitan menjaga kawasan itu karena kekurangan personel, fasilitas, dan anggaran untuk patroli.
"Hanya ada dua PNS dan satu tenaga honorer yang menjaga kawasan seluas itu," ungkapnya.
Pihaknya sudah mengusulkan tambahan anggaran, namun pemerintah juga memiliki keterbatasan dana sedangkan ada sekitar 70 cagar alam yang harus dijaga.
"Solusinya adalah dengan kerja sama kolaborasi mulai dari masyarakat desa dan pemerintah daerah, namun itu butuh proses karena pemahaman akan konservasi berbeda-beda," katanya. (Antarariau.com)