Ini Penjelasan DPR Soal Nasib Guru Honorer Didalam UU Pemda
Jakarta -- Undang-Undang No 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda) yang mulai berlaku tahun 2016 lalu dinilai menimbulkan sejumlah permasalahan.
Khususnya pada pengaturan terkait pengalihan kewenangan pengelolaan pendidikan menengah, yaitu sekolah menengah atas (SMA) dan sekolah menengah kejuruan (SMK) dari pemerintah kabupaten atau kota ke pemerintah provinsi.
Anggota Komisi X Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) Ledia Hanifa Amaliah mengatakan, salah satu pihak yang terkena imbas akibat diberlakukannya kebijakan ini adalah guru honorer.
Dengan pengalihan kewenangan ini, berpengaruh kepada tunjangan yang diterima guru honorer. Ada yang mengalami penurunan jumlah tunjangan, walaupun ada juga yang mengalami kenaikan.
“Ada beberapa guru honorer yang menyampaikan bahwa kabupaten atau kota mereka memberikan tunjangan lumayan tinggi. Namun begitu kewenangan pendidikan menengah diambil provinsi, karena provinsi terpaksa memukul rata, jadi akhirnya tunjangannya turun,” kata Ledia saat kunjungan kerja spesifik (Kunspek) Komisi X DPR ke Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur, Kamis (8/6) lalu, melalui siaran persnya. Kunspek dipimpin Wakil Ketua Komisi X DPR Sutan Adil Hendra Fraksi Gerindra, daerah pemilihan Jambi.
Permasalahan berikutnya, masih kata Ledia, terkait sekolah inklusi, atau sekolah anak berkebutuhan khusus. Menurut Ledia, penanganan sekolah inklusi merupakan kewenangan pemerintah provinsi. Namun, di satu sisi, untuk sekolah inklusi tingkat sekolah dasar (SD) dan sekolah menengah pertama (SMP) merupakan kewenangan kabupaten atau kota.
Sehingga, perlu adanya koordinasi antara pemprov dan pemkab atau pemkot, terkait keberlangsungan pendidikan anak didik berkebutuhan khusus, yang melanjutkan pendidikan dasar ke pendidikan menengah. Ledia khawatir, dengan tanggung jawab besar ini, tugas utama pemerintah provinsi untuk menangani anak didik disabilitas menjadi terabaikan.
“UU No 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, tidak menginginkan ada anak didik putus sekolah. Karena kewajibannya mereka bersekolah 12 tahun. Ini menimbulkan persoalan berikutnya, jika koordinasinya tidak dituntaskan. Sejumlah persoalan ini yang harus kita selesaikan bersama,” ujar Ledia.
Politikus Fraksi PKS itu mengakui, secara umum kabupaten dan kota tidak terbebani dari sisi anggaran. Namun bagi kabupaten atau kota yang telah mempunyai kebijakan untuk pendidikan dasar hingga menengah, hal ini ini bisa menjadi masalah tersendiri.
“Karena belum tentu, kebijakan provinsi untuk pendidikan menengah, tidak inline dengan kebijakan pendidikan dasar kabupaten atau kota. Ini betul-betul harus disinergikan, dan diselesaikan,” ujar Ledia.
Politikus asal dapil Jawa Barat itu menekankan, langkah yang harus segera diambil adalah koordinasi, serta perlu adanya kebijaksaan Menteri Dalam Negeri dalam konteks pembagian tugas antara kewenangan provinsi dan kewenangan kabupaten dan kota. (republika.co)