Penegak Hukum Bersatu Melawan Koruptor
Jakarta - Kerja sama di kalangan lembaga penegak hukum dalam memberantas korupsi memasuki babak baru. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kejaksaan Agung, dan Polri, kemarin, menandatangani nota kesepahaman (MoU) mengenai kerja sama dalam pemberantasan tindak pidana korupsi.
Sebanyak lima belas pasal ditandatangani oleh ketiga pemimpin lembaga di Mabes Polri Jakarta, kemarin. Meskipun ada yang melihat bahwa MoU itu dikhawatirkan dapat menjadi celah bagi pelemahan KPK, ketiga lembaga justru melihat kerja sama itu sebagai upaya bersatu dalam melawan koruptor.
Apalagi dalam MoU juga diatur ketiga pihak akan bekerja sama dalam sosialisasi, pendidikan, dan pelatihan terkait upaya pemberantasan korupsi. Selain itu, adanya administrasi surat pemberitahuan dimulainya penyidikan elektronik atau e-SPDP. “Jadi, SPDP ini nantinya akan online supaya di tingkat pusat, baik KPK, Polri, maupun Kejagung punya data dan info yang sama terkait penanganan tipikor di seluruh Indonesia,” kata Ketua KPK Agus Rahardjo, kemarin. Dalam MoU juga diatur ketiga pihak akan bekerja sama dalam sosialisasi, pendidikan, dan pelatihan terkait dengan upaya pemberantasan korupsi.
Jaksa Agung HM Prasetyo pun mengatakan penandatanganan MoU itu bertujuan untuk saling mendukung kinerja antarlembaga penegak hukum. “KPK punya kelebihan dalam kewenangan. Dia bisa menggeledah, menyita, memanggil, menyadap, memeriksa, sedangkan Polri dan Kejagung perlu izin dari pihak yang punya kewenangan. Ketika menyita, harus izin pengadilan. Ketika memeriksa pejabat, harus izin sesuai UU. Polisi dan kejaksaan punya jaringan luas hingga ke daerah, sedangkan KPK cuma ada di pusat. Dengan MoU ini, saling melengkapi kewenangan dan mengisi keterbatasan sehingga penanganan korupsi bisa lebih intensif,” ujar Prasetyo.
Kapolri Jenderal Tito Karnavian pun menyambut baik MoU ini. “Polri tentu mengapresiasi kerja sama ini karena ini pasti akan meningkatkan kemampuan negara dalam menangani sejumlah kasus korupsi,” kata Tito.
Namun, beberapa poin dalam MoU dikritisi, terutama terkait kesepakatan bila salah satu lembaga memanggil personel pihak lainnya, pihak yang melakukan pemanggilan itu harus memberitahukannya kepada pimpinan personel pihak yang dipanggil.
Begitu juga, bila salah satu pihak melakukan penggeledahan, penyitaaan, atau memasuki kantor pihak lainnya, pihak yang melakukannya memberitahukan itu kepada pimpinan pihak yang menjadi objek dilakukannya tindakan, kecuali tertangkap tangan.
Peneliti ICW Lola Easter mempertanyakan MoU yang dibuat ketiga lembaga. Pasalnya, poin yang ada di dalam MoU itu telah diatur di dalam KUHAP, seperti izin penggeledahan dari pengadilan. “Salah satu materinya izin penggeledahan. Itu jadi pertanyaan. Kalau penggeledahan sudah sesuai, di mana izin dari ketua pengadilan yang diatur di KUHAP? Itu sudah clear. Jadi, buat apa izin yang dimintakan untuk melakukan penggeledahan?” terang Lola.
Jubir KPK Febri Diansyah mengatakan setiap proses dalam hal itu akan tetap mengacu ke KUHAP dan hukum acara lain yang diatur di UU KPK, tindak pidana korupsi, kepolisian, dan kejaksaan. “Yang diatur pemberitahuan, bukan izin penggeledahan penyitaan,” kata Febri. (Mediaindonesia.com)