Terapi Oksigen, Jalan Lain Menuju Kulit Sehat tanpa Sakit
Jakarta - Ada anggapan 'beauty is pain' yang dimaklumi bagi seseorang yang ingin tampil cantik dan menarik. Botox, filler, operasi plastik semuanya dilalui dengan rasa sakit. Namun, rupanya ada cara lain untuk menuju kulit sehat yakni dengan terapi oksigen atau oxygen therapy.
Sodoran alternatif treatment itu disampaikan pendiri klinik perawatan kulit DMK, Danne Montague King. Dokter yang juga ahli botani itu mengatakan, masalah muncul saat kulit tidak berfungsi atau beraktivitas dengan normal. Untuk beraktivitas dengan normal, kulit perlu pasokan oksigen yang cukup.
Akan tetapi, kulit tidak mengambil oksigen dari luar tubuh. Kulit mengambil oksigen dari dalam tubuh. Terapi bertujuan memperlancar aliran darah pada pembuluh darah kapiler yang mengangkut oksigen ke seluruh tubuh termasuk kulit.
"Dalam sel terdapat mitokondria yakni semacam power station sel kulit. Dia perlu oksigen agar aktivitas sel normal. Tak ada oksigen, sel akan mati," jelas King saat ditemui di klinik DMK, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Kamis (23/11).
Konsep terapi ini memang tak seperti treatment instan seperti botox atau filler. Pertama, remove yang bertujuan mengangkat sel kulit mati dan kotoran yang menempel sekaligus meningkatkan aliran oksigen ke dalam jaringan. Rebuild yakni memberikan enzim pada kulit. Kemudian konsep protect atau perlindungan serta terakhir maintain atau perawatan pasca terapi. Kulit yang sehat juga perlu kedisiplinan dalam perawatan.
King mengatakan, tak ada yang salah dengan botox atau filler. Namun, oxygen therapy bersifat memperbaiki kulit dari dalam, membantu kulit untuk kembali beraktivitas dengan normal.
Ia memberikan contoh, filler dilakukan saat orang menemukan garis senyumnya terlihat dalam dan permanen walau sedang tidak tersenyum. King mengistilahkan kulit dalam keadaan 'lapar' kemudian orang memutuskan untuk injeksi filler. Filler kekinian mengandung hyaluronic acid yang serupa dengan yang dimiliki tubuh.
"Kulit yang lapar pun tahu ini makanan, kulit menyerap, ia pun hilang, tak bertahan lama dan ini membuang uang. Quick things, quick money," ujarnya.
Menurutnya, tiap ras di dunia dianugerahi warna kulit yang sesuai dengan kondisi iklim di wilayah mereka tinggal. Mengambil contoh orang Indonesia, kulit yang cenderung kecoklatan memang jadi tameng alami untuk melindungi kulit dari paparan sinar matahari.
Namun, seiring perubahan iklim, paparan sinar matahari terasa semakin kuat. Proteksi alami ini tak akan sebagus di awal. Tak seperti kulit pada bagian tubuh lain, kulit wajah tak mungkin terus ditutupi sepanjang waktu.
"Ia berusaha sendiri melawan radikal bebas sehingga support dari dalam sangat diperlukan," tutupnya.
Sumber:CNNindonesia.com