Petunjuk7.com - Bayangkan jika sampah plastik di rumah Anda bisa diubah menjadi bahan bakar minyak (BBM). Anda tidak lagi turut mengotori Bumi, sekaligus bisa mengurangi atau bahkan mencoret anggaran belanja elpiji setiap bulan.
Semua itu dapat diwujudkan melalui reaktor pirolisis, alat yang sedang dikembangkan oleh Pandji Prawisudha, seorang pakar konversi energi dari Institut Teknologi Bandung (ITB). Pandji memperlihatkan dan menjelaskan, reaktor yang masih berupa purwarupa.
Secara kasat mata, reaktor itu tampak sederhana. Reaktor pirolisis terdiri dari tabung berukuran dua liter, kondensor, pompa air akuarium, thermocouple, dan sebuah wadah plastik.
Semuanya itu tersambung dengan pipa, tempat mengalirnya gas hasil pemanasan hingga berubah menjadi minyak.
Kinerja peranti tersebut mengandalkan mekanisme pirolisis, yakni proses memanaskan plastik tanpa oksigen dalam temperatur tertentu.
Plastik akan mencair dan berubah menjadi gas yang kemudian mengalir melalui pipa melewati kondensor.
Di dalam kondensor, gas akan didinginkan sehingga berubah menjadi minyak atau disebut juga asap cair. Minyak itulah yang nantinya bisa dimanfaatkan sebagai bahan bakar untuk kompor, juga lampu minyak.
"Kalau lihat sejarahnya, plastik asalnya dari minyak bumi. Sebetulnya yang kita lakukan hanyalah mengonversi si plastik itu ke asalnya, minyak bumi," kata Pandji kepada wartawan di Bandung, Julia Alazka.
Pandji mengawali proyek penelitiannya ini dengan maksud mengurangi sampah plastik, mengingat Indonesia menyandang predikat sebagai negara penghasil sampah plastik terbesar di dunia setelah Cina.
Target Pandji adalah sampah plastik rumah tangga, seperti bungkus mi instan, bungkus kopi, dan kemasan plastik berjenis polypropylene (PP) lainnya.
"Jenis plastiknya sebetulnya bisa apa saja, yang paling tidak disarankan adalah Polivinil Khlorida karena PVC akan terlarut di dalam minyaknya. Kalau itu dibakar risikonya lebih tinggi. Tapi buat plastik-plastik yang tidak digunakan seperti bungkus mie instan, bungkus kopi, itu kebanyakan polypropylene dan itu relatif tidak sulit untuk diproses," papar pria kelahiran 1979 ini.
Pengganti minyak tanah
Dengan tabung berukuran dua liter, reaktor pirolisis yang dikembangkan Pandji mampu 'menyulap' 200 gram bungkus mi instan menjadi 120 mililiter minyak. Minyak itu dihasilkan dalam proses pemanasan selama dua jam.
Ketika diuji coba, minyak hasil olahan bungkus mi instan itu bisa mendidihkan air sebanyak 200 mililiter dalam waktu kurang dari tiga menit.
Minyak sampah plastik, kata Pandji, lebih cocok dipakai sebagai pengganti kerosin atau minyak tanah dibanding bensin.
Sebab, minyak yang dihasilkan bersumber dari sampah plastik sudah tercampur dengan zat lain, sehingga berisiko bila digunakan sebagai bahan bakar kendaraan bermotor. Sedangkan dari sisi ekonomi, harga minyak sampah plastik sulit bersaing dengan bensin dan solar yang masih disubsidi.
"Kita tahu harga minyak tanah sekarang sekitar Rp13 ribu perliter. Jadi sebetulnya dari sisi itu, ini bisa jadi substitusi minyak tanah yang ekonomis. Bisa dijual di kisaran Rp5000 per liter," ujar Pandji.
Reaktor pirolisis yang belum diberi nama itu, menurut Pandji, memberi manfaat bagai 'dua lalat tertangkap dengan sekali tepuk', sampahnya hilang, minyaknya dapat.
Ke depan, dia berharap bisa merancang reaktornya dengan konsep yang portabel dan komunal agar bisa digunakan masyarakat di daerah yang tidak memiliki akses terhadap bahan bakar cair, tapi memproduksi banyak sekali sampah plastik.
Dia mencontohkan Kepulauan Seribu di Teluk Jakarta. Pulau kecil ini kesulitan mengakses BBM, sementara sampah plastiknya menumpuk sebagai dampak dari industri pariwisata.
"Nah, kalau itu kita manfaatkan sebagai energi bahan bakar cair, seharusnya pulau-pulau kecil itu bisa terpenuhi kebutuhannya dengan sampah plastik yang ada di industri pariwisata," kata doktor lulusan Fakultas Teknik Lingkungan, Institut Teknologi Tokyo.
Perilaku masyarakat
Merakit reaktornya juga terbilang mudah. Tingkat kesulitannya hampir sama dengan merakit kompor minyak.
Meski demikian, Pandji menyadari bakal ada kendala dalam proses pemasarannya, terutama dalam hal mengubah perilaku masyarakat.
"Karena ini teknologi baru, dari sisi komersial mungkin orang akan ragu-ragu, apakah layak membeli ini. Artinya, saya sekarang sudah bisa punya elpiji, punya kompor minyak tanah sendiri, kenapa saya harus mengeluarkan uang untuk mengolah plastik menjadi minyak?" kata Pandji, memprediksi.
Di samping itu, ada persoalan dalam proses pirolisis, yaitu keluarnya bau yang menyengat. Namun menurut Pandji, persoalan itu bisa diupayakan agar dalam prosesnya, bau tidak bocor ke lingkungan sekitar.
"Begitu pakai sampah plastik itu, ada bagian yaitu bagian pewarna. Ini yang kita tidak bisa lawan baunya. Dan memang proses pirolisis ini lebih diutamakan supaya dia tidak bocor ke lingkungan. Jadi akan lebih mahal karena kita tidak ingin ada efek-efek ke lingkungan sekitar," ungkap Pandji.
Dari sisi keamanan, penggunaan minyak sampah plastik memiliki risiko yang sama dengan minyak tanah. Pandji mengingatkan, setiap bahan bakar memiliki risikonya masing-masing sehingga masyarakat harus selalu berhati-hati dalam menggunakannya.
"Saya tidak berani bilang ini sepenuhnya aman, tidak berbahaya. Pasti risikonya ada. Tapi kalau dilihat dari manfaatnya ada dua lalat yang tertangkap dengan sekali tepuk. Dari sisi energinya dan dari sisi sampahnya," ujar dia.
Jangan hanya uji coba
Bagaimana tanggapan masyarakat jika sampah plastik yang penggunaannya mirip dengan minyak tanah dipasarkan?
Seorang pedagang jagung kukus, Eman Sulaeman, menyambut baik apabila minyak sampah plastik dipasarkan. Apalagi jika harganya hanya Rp5.000 per liter.
Menurutnya, harga tersebut terjangkau dan lebih murah dari harga elpiji yang dibelinya dengan harga Rp 18.000 hingga Rp25.000 per tabung.
Maman juga mendukung produksi minyak sampah plastik lantaran bisa mengurangi sampah. Namun, pria berusia 40 tahun itu berpesan agar hal ini tidak sebatas uji coba.
"Jangan sampai hanya uji coba, harus dijalani, (barangnya) mudah dicari, bahannya bagus, pasti dipakai masyarakat. Apalagi dengan harga murah, masyarakat juga pasti beralih ke harganya yang murah," tutur Eman.
Pendapat yang sama juga diutarakan Maman, seorang pedagang gorengan. Maman memang menunggu alternatif bahan bakar lain selain elpiji, yang murah dan mudah dicari.
Maman mengaku antusias jika harga minyak sampah plastik dibandrol Rp5.000 per liter.
"Luar biasa itu. Bagus sekali (kalau harganya Rp 5000). Kalau ini (elpiji) kan bisa nyampe Rp25.000 di eceran, bahkan udah jarang. Boleh lah kalau ada (minyak sampah plastik)," ungkap pria 33 tahun itu.
Sumber:BBCindonesia.com