Jawa Barat - Majelis Ulama Indonesia (MUI) menggelar Rapat Kerja Nasional (Rakernas) ke-3 masa khidmat 2015-2020 di Hotel Sahira, Kota Bogor, Jawa Barat pada 28-30 November 2017. Rakernas ke-3 MUI tahun ini menghasilkan beberapa keputusan atau rekomendasi. Salah satunya yang berkaitan dengan putusan Mahkamah Konstitusi.
"Terkait dengan putusan MK Nomor Perkara 97/PUU-XIV/2016 tentang pencantuman aliran kepercayaan dalam kartu tanda pengenal (KTP) yang sudah bersifat final dan mengikat, MUI menyatakan hal-hal berikut," kata Wakil Ketua Umum MUI, Zainut Tauhid Sa'adi kepada Republika, Kamis (30/11).
Zainut menyampaikan, pertama, MUI sangat menyesalkan putusan MK Nomor Perkara 97/PPU-XIV/2016. Putusan tersebut dinilai kurang cermat dan melukai perasaan umat beragama, khususnya umat Islam Indonesia. Sebab, putusan tersebut berarti telah mensejajarkan kedudukan agama dengan aliran kepercayaan.
Dia mengatakan, yang kedua, MUI berpandangan bahwa putusan MK tersebut menimbulkan konsekuensi hukum. Juga berdampak pada tatanan kehidupan sosial kemasyarakatan serta merusak terhadap kesepakatan kenegaraan yang selama ini sudah berjalan dengan baik.
Kemudian yang ketiga,MUI berpendapat seharusnya MK dalam mengambil keputusan yang memiliki dampak strategis, sensitif dan menyangkut hajat hidup orang banyak, terlebih dahulu membangun komunikasi. Serta menyerap aspirasi yang seluas-luasnya kepada masyarakat dan pemangku kepentingan. Sehingga dapat mengambil keputusan secara obyektif, arif, bijak dan lebih aspiratif.
"Keempat, MUI menghormati perbedaan agama, keyakinan dan kepercayaan setiap warga negara karena hal tersebut merupakan implementasi dari hak asasi manusia yang dilindungi oleh negara sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku," ujarnya.
Kelima, MUI sepakat bahwa pelaksanaan pelayanan hak-hak sipil warga negara di dalam hukum dan pemerintahan tidak boleh ada perbedaan dan diskriminasi. Sepanjang hal tersebut sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Zainut mengatakan, maka MUI mengusulkan langkah-langkah solusi sebagai berikut. Terhadap warga negara yang membutuhkan pelayanan terkait putusan MK tentang identitas pribadinya agar dicantumkan pada kartu keluarga (KK) atau KTP seperti penganut penghayat kepercayaan. Maka pemerintah wajib melayani dengan ketentuan sebagai berikut.
Pertama, pemerintah dapat melakukan pencantuman identitas penghayat kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa pada KK. "Kedua, pemerintah dapat mencetak KTP yang hanya mencantumkan kolom aliran kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan jumlah kebutuhan warga penghayat kepercayaan," ujarnya.
Ketiga, dikatakan Zainut, adapun urusan yang terkait dengan hak-hak sipil sebagai warga negara. Warga penghayat kepercayaan tetap berada di bawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sebagaimana yang selama ini telah berjalan dengan baik.
Sumber:Republika.co