Pansus RUU Anti Terorisme Butuh Bantuan Pemerintah
Jakarta - Anggota Panitia Khusus pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme atau RUU Anti Terorisme, Bobby Adhityo Rizaldi mengatakan, Dewan Perwakilan Rakyat tidak bisa menyelesaikan RUU ini sendirian. DPR perlu bantuan dari pemerintah bila ingin cepat selesai.
Politikus Partai Golkar ini menuturkan pemerintah harus membantu DPR terutama di beberapa masalah teknis pembahasan RUU Anti terorisme. Pasalnya hal yang membuat RUU ini belum rampung juga datang pemerintah.
Tim pemerintah, kata dia, masih meminta waktu untuk rapat internal mengenai definisi terorisme. "Ini berpengaruh pada pasal-pasal dalam daftar inventaris masalah yang kami bahas bersama," katanya lewat pesan singkat, Senin, 3 Juli 2017.
Selain itu, pemerintah belum memberikan kejelasan aturan terkait beberapa poin kontroversial seperti pasal Guantanamo (Pasal 43 Draft RUU Terorisme) dan pelibatan Tentara Nasional Indonesia.
Menurut dia, usulan pemerintah terkait pasal Guantanamo tidak bisa dimasukkan dalam kerangka tindak pidana. "Itu bagian dari model internal security," ujarnya.
Sedangkan terkait keinginan pemerintah agar TNI dilibatkan ini juga belum jelas karena perlu ada pasal yang mengatur soal koordinasinya dengan penegak hukum lain. "Sebenarnya dengan sistematika saat ini, ada BNPT yg dibentuk untuk membuat roadmap, akan tetapi dalam legal drafting pemerintah sama sekali tidak disebut. Hal ini yang pemerintah harusnya lebih komprehensif, sehingga pembahasan bisa lebih cepat," ucapnya.
Masalah selanjutnya terkait pasal-pasal pemidanaan. Pemerintah diminta memastikan pasal hukuman yang dimasukkan sejalan dengan Rancangan KUHP yang sedang dibahas di Komisi Hukum. "Ini masih dibahas pemerintah. Apakah kodifikasi terbuka KUHP sudah memastikan terorisme, narkoba dan korupsi diatur di UU lain atau semua harus me-refer KUHP?" ujarnya.
Bobby menjelaskan pihaknya tidak hanya ingin RUU ini cepat selesai, tapi juga efektif, transparan, dan akuntabilitasnya dapat dipertanggungjawabkan. "Pemberantasan terorisme oleh negara, apalagi dalam hal pencegahan, memerlukan kepercayaan publik yang besar agar jangan sampai dianggap merupakan suatu kesewenang-wenangan, yang malah bisa melunturkan wibawa aparat negara itu sendiri," kata dia.
Masalah lainnya adalah di antara lembaga-lembaga pemerintah belum satu suara terkait tanggungan negara terhadap korban terorisme dan terorisme yang melibatkan anak. Menurut dia, tugas harmonisasi dan sinkronisasi inilah yang memerlukan upaya bersama pemerintah dan DPR.
"Jadi Pak Menkopolhukam perlu memastikan tim pemerintah untuk lebih komprehensif dalam rapat-rapat ke depan bersama pansus, sehingga keputusan RUU ini bisa diputuskan secara efektif dalam waktu yang efisien," katanya.
Bobby menjelaskan progress pembahasan RUU Anti Terorisme ini terus berjalan. Dari 115 DIM, sekitar 70 di antaranya selesai dibahas. "Kami optimis bisa selesaikan Oktober," katanya. (tempo)